Hidupku tak seindah dan tak semulus kehidupan oranglain pada umumnya. Bagiku, hidupku selalu dalam kenistaan, penderitaan. Oranglain punya suami, begitu juga denganku. Oranglain punya anak, begitu juga denganku. Setelah aku punya semua itu, tapi hidupku tak kunjung membaik. Ekonomi finansialku selalu saja berada ditaraf paling bawah. Aku banting tulang untuk menghidupi anak-anakku, tapi tak pernah cukup. Apalagi suamiku tidak punya pekerjaan, semakin aku terpuruk dalam kondisi seperti ini. Hingga suatu saat aku bertemu seorang pria, yang mengubah hidupku. Semua kebutuhan menjadi tercukupi.
Namaku Astri. Aku adalah seorang wanita biasa, anak bungsu dari orangtuaku. Orangtuaku adalah segalanya bagiku. Namun karena kenakalan dimasa remajaku, aku mengecewakan mereka. Aku menikah dengan pria dalam kondisi hamil muda. Karena itulah orangtuaku menikahkan aku dengannya. Suamiku adalah orang yang sangat aku cintai, bernama Heru. Dia adalah temanku disekolah. Aku mencintai apa adanya. Saat itu hatiku berbicara, cintaku mengalahkan akal sehatku. Sempat orangtuaku tidak setuju akan pernikahan kami, mereka tidak mau anaknya mengalami nasib yang sama, orangtuaku bercerai, dan mereka satu sama lain sudah memiliki pendamping hidup yang baru. Tapi karena kondisi perutku yang semakin hari semakin membesar, mereka terpaksa menikahkan. Aku sama sekali tidak peduli dengan semua nasehat-nasehat orangtua, teman-teman dekatku, aku pegang teguh keyakinanku. Aku bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang ku cintai. Orangtuaku berharap, ketika aku lulus SMU, aku bekerja dulu, belajar mencari uang karena dimata orangtuaku, aku masih belum dewasa dalam berpikir. Sedangkan teman-teman sekolahku, menyarankan untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Heru, karena Heru sedikit arogan.
Cintaku yang teramat dalam, mengalahkan segalanya. Setelah menikah, mulailah penderitaan datang menghampiriku. Suamiku yang pada saat itu menekuni bidang konveksi, meneruskan usaha orangtuanya, mengalami kerugian. Aku coba bersabar, demi anak yang ku kandung. Hatiku terobati dengan adanya bayi dalam perutku yang senantiasa memberiku kekuatan untuk menghadapi semua. Bayi ini bergerak dengan sehat dalam perutku, aku sangat bersyukur masih diberi kepercayaan olehNYA untuk memiliki keturunan. Sampai tiba saatnya bayi ini lahir ke dunia. Suamiku menemaniku saat proses lahiran. Dia senantiasa memberiku semangat untuk selalu kuat dan bertahan dalam kesakitan. Kami tidak punya uang, mungkin tidak cukup untuk membayar biaya persalinan dibidan, jadi kami memutuskan untuk melahirkan dibantu oleh dukun beranak. Setelah sekian jam kontraksi, akhirnya bayiku lahir dengan kondisi normal. Bayiku laki-laki. Senangnya hati ini mellihatnya, bayi ini aku beri nama Tri. Namun setelah beberapa menit melahirkan, aku mengalami pendarahan. Ibu ku yang pada saat itu datang menjenguk, dengan sigap mengambil tindakan.
Aku sangat ketakutan, karena darah terus mengalir. Ingin rasanya duduk, tapi badanku tak berdaya. Setelah setengah jam berlalu, pendarahannya berhenti. Aku mulai tersadar, betapa mulia nya ibu ku. Ketika aku kesakitan, dia masih mau menolongku, sedangkan aku seringkali menyakiti hatinya. Ucapanku, tingkah laku ku, selalu menyakiti ibu. Aku tidak pernah mau menuruti nasehat ibu. Aku hidup dengan keputusanku, entah keputusanku salah atau benar dimata ibu.
Ibu dan kakakku memberi uang untuk biaya persalinan. Kakakku sesosok wanita tangguh bernama Hesty. Ia sudah menikah dan dikaruniai seorang putri. Hesty berbeda denganku, ia selalu menuruti nasehat orangtua. Apa yang akan Hesty lakukan, ia selalu bicarakan dengan ibu. Terkadang aku iri melihat kedekatan Hesty dengan ibu, tapi aku sadar, Hesty memang anak baik, ia juga mau bantu ketika ibu sedang dalam krisis keuangan. Sebelum menikah, Hesty memang selalu membantu ibu. Hesty bangun pagi buta, untuk menemani ibu membuat gorengan untuk ia jual dipagi hari. Aku sama sekali tidak berbuat apa-apa. Aku memang pemalas.
Tak seharusnya Hesty membantu ibu, ibu juga tidak pernah meminta Hesty untuk membantunya. Hesty menikah dengan pria yang baik pula, ia seorang pedagang bernama Dendy. Dulu, banyak pria yang mendekati Hesty, tapi ibu selalu menolak memberi restu pada Hesty. Sampai akhirnya ibu merestui pernikahan Hesty dengan Dendy, mereka dikaruniai anak bernama Gendis.
Dua hari setelah melahirkan, Hesty dan ibu pamit pulang, mereka tidak bisa menemaniku lagi karena mereka sudah meninggalkan suami-suami mereka untukku. Aku pun memahami mereka. Hari-hari aku lewati dengan mengurus anakku yang lucu. Senyumnya, tangisnya, memberi kehangatan. Suamiku terus berusaha memajukan usahanya, berusaha bekerja keras untuk dapat menghidupi kami. Terus dan terus seperti itu. Setelah Tri berusia satu tahun, ternyata aku hamil lagi. Padahal aku sudah KB, tapi entahlah, mungkin ini rezekiku. Sebagian orang susah sekali untuk punya keturunan, bahkan rela mengeluarkan uang ratusan juta demi ingin memiliki keturunan, sedangkan aku begitu mudahnya mendapatkan seorang anak dan aku tidak akan sia-siakan rezekiku ini.
Dengan kondisi keuanganku yang semakin memburuk, aku masih bersabar dan selalu berdoa agar usaha suamiku berjalan lancar. Setiap hari aku berdoa, menangisi keadaanku, anak ku Tri harus berhenti menyusui karena aku hamil lagi. Aku harus memberinya susu kemasan dan harganya tidak murah. Sedih hati ini melihat Tri harus terbengkalai. Semakin hari kebutuhan susunya semakin banyak, suamiku masih berkutat dalam keterpurukan. Aku coba menghubungi Hesty untuk meminta bantuannya. Hesty pun sama, ia tidak mempunyai uang lebih untuk diberikan padaku. Aku semakin bingung, harus berbuat apa. Aku tidak berani meminta bantuan pada ibu, karena ini adalah jalan yang telah aku aku ambil dan aku harus menanggung resiko sendiri. Dalam keadaan seperti itu, aku emosi melihat suamiku tidak lagi berusaha, kerjanya tiap hari hanya berdoa dan tanpa berusaha melakukan sesuatu.
“Berdoa saja tidak cukup, kamu harus berusaha agar bisa menghasilkan uang,”ucapku.
Setiap hari aku bertengkar masalah uang. Tri tidak tumbuh seperti anak kecil pada umumnya. Susu untuk Tri, aku sengaja buat encer, agar susunya tidak cepat habis. Kepada siapa lagi aku meminta pertolongan ketika aku kesusahan?. Oranglainpun sedang dalam kesusahan. Namun tidak sesusah hidupku. Sedangkan Suamiku hanya mau bekerja pada satu bidang yang ia tekuni dan ia pahami. Ia tidak mau melakukan pekerjaan lain, sedangkan pekerjaan yang dulu ia tekuni memerlukan modal yang tidak sedikit.
Perutku bertambah besar, begitupun dengan pertumbuhan Tri. Aku serasa ingin mati saja. Namun aku teringat akan dosa. Aku juga masih ingin bersama anak-anakku meski hidup susah. Sampai titik darah penghabisan, aku akan berusaha berjuang demi anak-anakku. Aku sudah tidak mau lagi memikirkan suamiku.
Saat menjelang persalinan, ternyata Hesty lagi-lagi memberiku uang untuk biaya persalinan. Ada saja rezeki untuk aku dan anakku. Anakku yang kedua seorang putra lagi, aku beri nama Andy.
Semenjak Andy lahir, aku bertekad untuk membantu suamiku untuk mencari uang. Aku coba berjualan sayuran dengan modal sedikit. Tiap hari Tri dan Andy aku bawa berkeliling kampung untuk berjualan. Andy aku gendong, sedangkan Tri duduk di gerobak yang aku dorong. Dengan aku membawa mereka, banyak orang yang menaruh simpati padaku, mereka iba melihat kesusahanku. Ketika Andy menangis, aku berhenti dipinggir jalan dan berusaha memberi Andy ASI. Aku sudah tidak punya rasa malu lagi, mungkin harus begini jalan hidupku. Suamiku tidak bisa mengurus anak. Ia hanya bisa diam, berdoa, ngopi, merokok. Kadang aku kesal dibuatnya. Kenapa baru sekarang aku tahu sifat sebenarnya dia?. Padahal ketika pacaran, ia sesosok laki-laki yang bertanggung jawab dan perhatian.
Terlintas dipikiranku untuk bercerai, tapi aku malu pada ibu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya? Aku tidak mau membebani pikiran ibu yang sudah tua. Tapi aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku telan semua kepedihanku, aku tidak cerita pada siapapun, bahkan pada Hesty sekalipun. Ya Tuhan, apa salah dan dosaku sehingga anakku harus menanggung semuanya? Aku tidak tahan lagi untuk mengarungi kehidupan ini. Entah sampai kapan aku seperti ini!. Kapan roda kehidupan berputar, aku bisa hidup enak tanpa harus banting tulang.
Selama berjualan, setiap aku pulang kerumah, aku bertengkar dengan suamiku. Sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga. Kakiku berpijak, tapi aku kehilangan arah tujuan, pikiranku labil, aku kalut. Aku tidak makan, demi membeli susu untuk Tri. Sakit hati ini, melihat buah hatiku berkesusahan.
Ketika Andy beranjak 6 bulan, aku masih saja berjualan, suami ku tak kunjung mendapat penghasilan. Penghasilan dari berjualanku tak seberapa. Aku harus hemat, agar tercukupi semua kebutuhan. Saat anakku sakit, aku masih bawa berkeliling kampung. Aku tidak bisa menyuruh suamiku untuk belajar mengurus anak. Bahkan membantu aku berjualan saja ia tidak mau. Aku sudah tidak sanggup menanggung beban ini sendirian.
Hari-hariku berkutat diporos yang sama, tidak ada sama sekali perubahan. Pagi buta, aku belanja ke pasar, anak-anak masih tidur. Setiap hari aku lari-lari kepasar, kebetulan pasarnya tidak terlalu jauh dari rumah. Bagiku, keuntungannya lumayan untuk menghidupi anak-anak. Aku sudah tidak memikirkan diri sendiri dan suamiku. Yang ada di otak ini hanya anak-anak. Setelah tiba dirumah, anak-anak masih tertidur lelap dan aku melihat suamiku sedang ngopi dan merokok dibelakang rumah. Malas aku menyapanya. Apalagi membuatkan dia sarapan. Aku tak sudi.
Tiba dikomplek yang setiap hari aku kunjungi, ada seorang ibu bertubuh tambun yang menantiku, dia adalah salah satu pelangganku yang baik hati. Ia memang selalu curhat padaku mengenai rumah tangganya. Seperti biasa aku hanya mendengarkan ceritanya sambil menyusui Andy yang sudah mulai rewel.
Ketika sedang mendengarkan ceritanya, tiba-tiba ada sesosok pria bertubuh tinggi besar keluar dari rumah ibu bertubuh tambun itu, dan ternyata pria itu adalah suaminya. Pantas, selama aku jualan, aku tak pernah tahu yang mana suaminya, ternyata suaminya baru pulang dari luar kota. Suaminya dinas diluar kota, pulang 6bulan sekali. Hal itulah sebenarnya yang sering diceritakan ibu bertubuh tambun itu, suaminya jarang pulang. Ibu bertubuh tambun itu spontan memperkenalkan aku pada suaminya. Aku hanya menganggukkan kepala saja, tak sepantasnya berkenalan dengan orang berada apalagi dengan seorang pria beristri. Sempat suaminya ajak bicara Andy dan mereka terlihat tertawa-tawa. Entah apa yang dibicarakan oleh suaminya pada Andy. Selesai curhat-curhatnya, aku kembali keliling dan menggendong Andy yang tertidur dalam gendongan. Lama-lama aku enjoy, menikmati kesusahanku. Sudah tak terasa lelahnya berkeliling, dan panasnya terik matahari. Pelangganku ramah-ramah, mereka dekat denganku seperti ibu bertubuh tambun tadi.
Jualanku laris, saatnya aku pulang kerumah. Ketika dalam perjalanan menuju rumah, aku merasa aneh, kenapa Andy tak seperti biasanya, ia banyak diam dalam gendonganku. Ternyata Andy demam. Aku bergegas pergi ke apotek untuk membeli obat. Badanku tiba-tiba gemetar, melihat Andy sakit. Apa yang sudah ku perbuat hingga anakku sakit seperti ini?. Aku sangat merasa berdosa.
Tiba dirumah, aku membaringkan Andy dan memberinya obat. Sedikit aku pijat-pijat badannya. Tak hentinya aku menangis melihat belahan jiwaku sakit. Suamiku malah marah-marah. Ia menyalahkan perbuatanku. Aku emosi mendengarnya berbicara seperti itu.
“Yang harus disalahkan adalah kamu, sebagai ayah kamu tak bisa mengurus anak-anak, tak bisa menafkahi anak-anak, kerjamu cuma diam saja, kamu yang sepantasnya disalahkan,” ucapku.
Aku dan suamiku bertengkar hebat depan anak-anak. Tri yang mendengar aku bicara dengan keras, tiba-tiba menangis. Aku tersadar, tak sepantasnya aku berbicara dengan nada keras didepan anak-anak. Tri menghampiriku dan aku memeluknya.
“Ibu minta maaf ya Tri, ibu sayang kamu nak,”ucapku.
Suamiku tak lama terdiam, dia lanjutkan bakar rokoknya. Sedangkan aku duduk bersama Tri disamping Andy yang terbaring sakit. Tri sudah mengerti, bahwa adiknya sakit. Tri juga mengusap-usap dahinya Andy. Bercucuran air mataku melihat ulah Tri. Ternyata anakku sudah besar, sudah paham arti kasih sayang. Hatiku senang sekaligus terharu.
Tengah malam Andy bangun, mata sayunya memandangku, akupun meneteskan air mata. Betapa baiknya anak ini. Sakitpun ia tak rasa. Terbersit dipikiranku untuk tidak berjualan dulu. Aku ingin Andy sembuh dulu.
Esok hari, ketika sedang membersihkan rumah, tiba-tiba ibu datang menjenguk. Ibu juga menanyakan bagaimana usaha suamiku. Ya aku bilang saja apa adanya. Ibu menawarkan untuk tinggal dirumahnya, tapi aku tidak mau karena suami ibu sekarang bukan bapak kandungku.
Andy semakin membaik, Tri juga nyaman bersama neneknya. Aku berencana untuk berjualan. Bebanku sedikit berkurang. Penat yang selama ini melanda, sejenak hilang. Seperti biasa pagi buta aku pergi kepasar, aku tidak tergesa-gesa karena ada ibu, yang senantiasa menjaga anak-anakku. Setelah selesai belanja, aku pulang kerumah. Aku menyusui Andy dulu, becanda dengan Tri. Dan tak lama aku berangkat keliling kampung. Setelah sampai komplek, yang biasanya ada ibu bertambun menungguku didepan rumahnya, tak terlihat batang hidungnya. Yang kulihat hanya suaminya. Kemudian aku tawarkan jualanku. Aku berhenti didepan rumahnya dan bertanya pada pria itu, kemana istrinya. Lelaki itu malah bertanya balik padaku,
“Kemana anak-anaknya koq gak dibawa? Kemarin gak jualan ya? Ibu kemarin tunggu-tunggu kamu tapi gak ada. Sekarang ibu lagi keluar rumah,” ucapnya.
Mendengar lelaki itu bertanya, aku grogi. Karena aku tak biasa berbicara dengan lelaki lain.
“Anak-anak dirumah, yang kecil sakit jadi tidak saya bawa,” jawabku.
Kemudian lelaki itu memberiku uang yang ia selipkan dalam daganganku. Ia bilang untuk beli susu anak-anak. Melihat dan mendengar ia berkata seperti itu, detak jantungku berdebar kencang. Aku bingung, harus berkata apa padanya. Aku benar-benar tak biasa berbicara dan tak mahir untuk mengucap kata-kata yang sopan. Spontan aku kembalikan uangnya namun ia menolak dan cepat-cepat masuk kedalam rumah. Tambah bingung saja aku harus bagaimana. Dengan detak jantung yang masih tak karuan, aku mencoba pergi dan meneruskan berkeliling komplek. Setelah kejadian itu, berjualan pun aku tidak enak. Baru pertama kali aku berbicara dengan lelaki lain, apalagi sampai aku diberi uang secara cuma-cuma. Tapi aku coba untuk berpikir positif saja. Dan aku mendoakan semoga ia diberi rezeki yang lebih dari pemberiannya padaku.
Sore tiba, aku bergegas pulang kerumah, dengan hati gembira karena mendapat rezeki tak terduga. Dalam perjalanan, aku putuskan untuk membeli susu untuk Tri, mumpung ada uang.
Setelah membeli susu, aku pulang ke rumah. Setiba di rumah, Tri dan Andy sudah terlihat menungguku didepan pintu. Aku rangkul mereka, dan masuk ke dalam menyapa ibu. Ibu ternyata sudah menyiapkan makanan untukku. Kemudian kami makan bersama. Inilah suasana yang aku inginkan, kebersamaan. Aku tidak terlalu berat menanggung beban, anak-anak ada yang urus. Mudah-mudahan keadaan terus seperti ini, tapi itu hanya mimpi. Ibu tak mungkin selalu bersama ku. Dia juga harus mengurus suami.
Tiba-tiba ibu bertanya kepadaku, koq sepertinya suamiku tidak bisa urus anak! Ibu lihat caranya memandikan anak, dari situ ibu curiga dan bergegas meminta suamiku berhenti memandikan anak-anak.
” Sudah, biar ibu saja yang mandikan anak-anak,” ucap ibu.
Ibu juga melihat kerjaan suamiku cuma diam, merokok, dan ngopi. Kaya gak ada kerjaan saja. Ibu sepertinya tidak suka atas sikap suamiku. Aku berusaha coba tutupi, dengan alasan stres tidak punya pekerjaan. Dan ibu sepertinya mengerti keadaan suamiku. Setelah melepas lelah bersama anak-anak, aku memikirkan uang yang tadi ku terima. Harus aku apakan uang ini? Untuk modal belanja saja ini lebih dari cukup, masih banyak sisanya. Lalu aku berbicara pada suamiku untuk mencoba lagi usaha yang sudah gulung tikar. Dan aku memberinya uang. Ia bertanya darimana uang itu! Aku jawab,
” Aku dapat arisan ibu-ibu komplek.”
Kemudian ia pergi keluar rumah untuk mencari bahan dan segala keperluan konveksi. Saat itu aku tidak berharap banyak usahanya akan maju kembali, tapi minimal aku sudah memberinya peluang untuk usaha, demi anak-anak juga. Dan rencanaku esok hari berjualan lagi tanpa anak-anak karena ibu masih ingin menginap dirumah.
Esok hari, aku berkeliling setelah belanja di pagi hari. Ketika masuk komplek, sudah ada ibu-ibu yang menunggu. Lalu aku ingat ibu bertubuh tambun, apa ada dirumah atau tidak! Aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibu-ibu, mereka bilang ibu bertubuh tambun itu sedang pergi kerumah orangtuanya dari kemarin, mungkin hari ini sudah ada dirumahnya. Dalam hati, pantas saja kemarin dia tak terlihat. Aku pun berniat untuk berhenti dirumahnya, menawarkan jualan. Setelah melepas lelah dengan becanda tawa dengan pembeli, aku mulai mendorong gerobakku menuju rumah ibu bertubuh tambun.
Sampai didepan rumahnya, aku coba berteriak. Dan ternyata yang keluar rumah, suaminya lagi. Aku mulai grogi. Hatiku berdetak kencang, takut salah bicara atau salah bersikap. Suaminya menyuruhku masuk kerumah, katanya ibu sedang menungguku didalam. Aku tidak berani masuk kerumahnya. Karena sejak aku kenal ibu bertubuh tambun, ia belum pernah mengajakku masuk rumah, hanya duduk dihalaman depan rumahnya saja.
” Gak usah pak, biar saya tunggu disini saja,” ucapku.
Lalu suaminya mengajakku berbincang. Dia menanyakan anak-anakku, kenapa tidak dibawa. Aku jawab seperti kemarin saja, bahwa anakku masih sakit.
” Aku tahu suamimu tidak bekerja, kamu yang menghidupi anak-anakmu. Kamu benci pada suamimu karena tidak mau bantu berjualan, dan kamu sudah jenuh dengan semua itu,” ucapnya.
Mendengar ucapannya, aku heran dan semakin takut, darimana dia tahu kehidupan pribadiku? Sedangkan selama ini aku tidak pernah cerita pada siapapun tentang rumah tanggaku. Tanpa banyak bicara aku bergegas pergi, ibu bertubuh tambun tak terlihat menghampiriku. Lalu suaminya menarik tanganku dan menghentikan langkah kakiku dan berkata,
” Aku iba padamu. Aku bisa berikan semua yang kamu butuhkan, asal kau melayaniku.”
Dengan suasana hati yang tak karuan, aku percepat langkah kakiku yang gemetaran. Dan aku dorong gerobak dagangan tanpa menoleh. Dalam perjalanan, aku sedih, tak habis pikir, koq ada pria seperti itu! Aku merasa dilecehkan dengan semua perkataannya. Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku? Padahal aku tidak cantik, kulitku gelap terbakar terik matahari dan aku juga bukan orang yang berpendidikan seperti dia. Jika hanya nafsu, aku rasa dia lebih bisa mencari dan mendapatkan perempuan yang pantas untuknya. Jadi apa yang sebenarnya yang ia inginkan?
Aku peluk Tri dan Andy setiba dirumah. Sementara Harga diriku tercobak cabik dengan perkataan suaminya. Tapi aku tetap semangat, aku coba untuk tidak mengungkapkan rasa kecewaku didepan suamiku dan ibu.
Pikiranku kalut. Memikirkan semua ucapan suaminya. Haruskah aku tergoda padanya? Meski tak dapat dipungkiri memang suaminya berwajah tampan, putih bersih, berbadan tegap. Sedangkan suamiku, berbadan kurus, rambutnya ikal, kulitnya coklat.
Ibuku bertanya darimana suamiku mendapatkan untuk usaha konveksi. Aku jawab bahwa itu uangku, hasil dari arisan. Dan ibuku menyarankan agar anak-anak biar diurus sama ibu saja, selama aku berjualan. Jika aku sudah selesai berjualan, aku tinggal ambil anak-anak dirumah ibu. Tawaran ibu membuat aku sedikit lega. Kemudian Ibu meyakinkanku, agar tidak usah memikirkan ayah tiriku nanti.
” Jangan lupa besok pagi, antarkan anak-anak ke rumah sebelum kamu jualan,” ucap ibu sambil pergi berlalu.
Aku pun mengamini ucapan ibu dan bersyukur, ibu masih sehat, perhatian sama aku dan cucunya. Setelah mengantar ibu pulang, aku kembali mengurus anak-anak. Sementara suamiku sedang sibuk.
Keesokan hari, aku tinggalkan anak-anak untuk pergi ke pasar subuh. Setelah selesai, tiba dirumah, Tri dan Andy sudah bangun. Lalu aku memakaikan baju. Sedikit berkemas pakaian anak-anak, botol susu, aku mulai menitipkan anak-anak pada ibu. Dengan membawa gerobak dan anak-anak, sepanjang jalan menuju rumah ibu, ada saja orang yang membeli jualanku. Aku belum pernah berjualan dikomplek dekat dengan rumah ibu. Dan aku sangat menghindari itu, awalnya aku tidak mau jika Ibu mengetahui kalau aku berjualan. Memang Rezeki tak dapat ditolak, jualanku hampir habis ketika aku sampai dirumah ibu. Sepertinya aku tidak harus berkeliling kampung. Jadi aku istirahat saja dirumah ibu.
Selama satu bulan, aku tidak berjualan berkeliling kampung, karena aku berjualan ke perkampungan sekitar rumah ibu. Jualanku lebih cepat habis ketimbang berkeliling kampung. Pastinya tidak terlalu capek. Bagaimana dengan suamiku? Ternyata memang ia sudah tidak bisa diandalkan. Ketika dapat untung, habis dengan sekejap untuk bayar listrik, bayar kontrakan. Kalau begitu caranya, lama-lama modal habis terkikis. Entahlah, aku bingung harus bagaimana. Suamiku itu tipe orang yang susah diajak bicara, susah diajak sharing, susah dikasih masukan, jadi terserah bagaimana dia saja.
Hari-hari berlalu. Jualanku semakin bertambah banyak, dan aku harus berkeliling kampung lagi, keliling komplek yang sudah hampir dua bulan aku tidak berjualan disana.
” Kemana saja kau selama ini, susah sekali aku beli daganganmu, sudah kaya ya sekarang? Sampai tidak mau keliling ke komplek ini?” ucap mereka.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, hati ku tenang, berarti mereka tidak marah padaku. Sepintas aku melihat rumah ibu bertubuh tambun, sepi sekali. Dan aku mendengar ibu-ibu bergunjing mengenai ibu bertubuh tambun. Kata mereka, suaminya ganteng, kaya, tapi kasihan belum dikaruniai anak. Padahal sudah lama menikah. Mereka pun menyuruhku mampir kerumah ibu bertubuh tambun, karena ia sempat bertanya tentang aku yang sudah jarang lewat ke komplek.
Kemudian aku coba mampir ke rumah itu. Ternyata yang keluar dari rumah, suaminya lagi. Duhh, aku langsung grogi dan memberanikan diri menawarkan jualanku. Ia menghampiri lalu menarik tanganku masuk kedalam rumahnya. Disana ia mencumbuiku sambil berkata,
” Aku suka kepolosanmu, jadilah kekasihku dan aku akan mencukupimu.”
Saat ia mencumbuiku, aku sedikit menikmati, sudah lama aku tidak merasakan dekapan seorang pria. Aku sudah tidak pernah disentuh suamiku. Tak lama aku tersadar dari kenikmatan itu, lalu suaminya memberiku hp yang sudah ia siapkan untukku. Ia selipkan disaku baju, aku bergegas pergi. Sadar aku dengan kejadian itu, salahku telah memberinya kesempatan.
Aku pergi menuju rumah ibu untuk ambil anak-anak. Tiba dirumah ibu, ku coba lihat handphone pemberiannya. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sayang anak-anakku. Tapi aku sudah tidak ada rasa pada suamiku. Ingin cerai, kasihan anak-anak. Mau lanjut, aku tersiksa. Aku sangat bingung. Apa yang harus aku lakukan? Ingin rasanya aku curhat dengan ibu, tapi tak bisa.
Pulang kerumah, ku lihat suamiku sedang termenung. Aku sudah malas menanyakan ada apa dengan dia. Tak peduli usahanya maju, atau diam ditempat. Tiba-tiba suamiku mengajakku bicara. Ia berkata bahwa Ia tak sanggup untuk meneruskan usahanya. Terlalu banyak kesulitan yang ia hadapi, jaman sudah modern, sedangkan ia masih menggunakan alat-alat kuno sehingga hasilnya kurang maksimal.
” Terserah kamu sekarang, aku sudah capek. Suka-suka kamu saja.” ucapku.
Malam itu ku tak dapat tidur dan udara terasa sangat panas, pikiranku menerawang jauh, bergumul dengan kenikmatan sesaat. Tubuh ini bergelora, membayangkan kelanjutan imaginasi liar. Tak dapat aku pungkiri, ku rindu belaian dan hatiku berkata, akan ku tuntaskan cerita pendek ini esok hari.
To be continue..
google-site-verification: google9dee788edeb8abda.html
google-site-verification: google9dee788edeb8abda.html