Ini cerpen ku yang gak juara dalam kompetisi writing yang adain Rohto. Ya sambil belajar menulis gpp gak juara juga. judulnya LOVELY QUINTA. Cekidot..
Secara
fisik Quinta bertubuh besar, badannya tinggi dan gemuk tapi dia cantik. Hanya
karena gemuk saja wajahnya terlihat bulat. Secara kepribadian dia baik, tulus
dan pintar. Tak heran ia menjadi juara
kelas. Sepertinya Quinta lebih pintar dibandingkan dengan aku.
Quinta
adalah sahabatku. Sejak duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama aku dan Quinta
menjalin persahabatan. Persahabatan aku dan dia sangat erat. Hingga aku menganggapnya seperti saudara. Tidaklah sulit
untuk berteman dengan Quinta karena dia orangnya supple alias mudah akrab
dengan siapapun.
Persahabatan
aku dan Quinta semakin dekat kala masuk kelas 3 SMP. Saat itu aku dan Quinta
mempunyai pandangan berbeda, Quinta ingin masuk SMU favorit didaerahnya sedangkan
aku ingin masuk SMU favorit diluar
daerah. Karena itu kami semakin dekat karena aku yakin jika aku nanti akan
berpisah dengannya. Tak hanya itu, kedekatan aku dan Quinta juga terjalin
karena Quinta yang menginjak pubertas. Ia sudah mulai merasakan apa arti cinta.
Quinta selalu bercerita tentang Fredy si pemain basket. Sekolah kami kedatangan
tim basket dari Sekolah Menengah Umum. Sengaja didatangkan untuk memotivasi
murid SMP disekolahku. Disanalah pertama
kali Quinta melihat Fredy. Quinta bertanya kepadaku mengenai Fredy. Ya tanggapanku standar saja
karena memang Fredy jago bermain basket dan berpostur tinggi berkulit gelap.
Sepertinya
rasa suka Quinta pada si pemain basket itu semakin tak terbendung. Quinta
semakin sering membicarakan Fredy. Quinta si kutu buku itu sedang puber. Ia
yang biasanya membicarakan mata
pelajaran, tak terdengar lagi. Yang dibicarakan selalu saja mengenai basket.
Hingga ia mengikuti ektra kulikuler basket hanya untuk mencari peluang agar dapat
bertemu kembali dengan Fredy.
Quinta
mengajakku untuk menemaninya masuk tim basket. Dengan senang hati aku ikut tim
sambil aku belajar mengenai banyak hal tentang olahraga basket. Kami pun dengan
gembira mengikuti ektra kulikuler tersebut. Sedangkan Quinta sangat terlihat
jelas sekali ia giat berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menarik perhatian
Fredy jikalau nanti bertemu kembali. Selama Quinta masih konsen pada
pelajarannya aku rasa wajar saja. Aku tak bisa memberi komentar kepadanya
karena aku belum mengalami pubertas.
Setiap
minggunya Quinta mengalami perubahan drastis. Ia semakin menguasai tehnik dalam
bermain basket. Tak pernah terpikir olehku untuk menjadikan Quinta sebagai
sainganku dalam segala hal. Aku juga tidak pernah merasakan iri jika Quinta
melebihi kemampuanku. Karena aku rasa pertemanan lebih menguntungkan dari pada
persaingan. Quinta tak pernah pelit ilmu. Ia selalu saja mendiskusikan apa yang
aku tidak tahu dan begitupun sebaliknya.
Dalam
waktu tiga bulan berlatih akhirnya sekolah kami mengadakan acara pertandingan
persahabatan dengan Sekolah Menengah Umum. Diantaranya dengan sekolah dimana
Fredy belajar. Quinta sangat senang mendengar kabar itu. Ia semakin giat saja
berlatih basket.
Pertemuan
kedua dengan Fredy terlaksana jua. Namun
posisinya berbeda. Saat pertama kali bertemu aku dan Quinta hanya sebagai penonton
pertandingan. Untuk yang kedua kali aku dan Quinta menjadi pemain yang akan
bertanding dengan kakak kelas yang badannya tentu lebih tinggi dari aku dan
Quinta. Tapi itu tidak mengurungkan semangat untuk tetap fokus pada
pertandingan. Apalagi Quinta yang notabene sedang mengincar Fredy. Aku tak tahu
apa yang akan dilakukan Quinta nanti saat pertandingan usai.
Dengan
semangat Quinta menunjukan kemampuannya bertanding. Meski hanya pertandingan
persahabatan aku yakin Quinta bisa membuat penonton berdecak kagum. Alhasil Quinta
banyak mencetak poin. Dengan keringat bercucuran karena kelebihan lemak ia
tetap total sampai akhir pertandingan. Skor terakhir unggul tim aku dan Quinta.
Setelah
pertandingan selesai giliran aku dan Quinta menyaksikan pertandingan tim basket
pria. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Dengan seksama aku lihat Quinta sangat
memperhatikan gerak gerik Fredy yang kala
itu sedang bermain basket. Aku bertanya pada Quinta saja ia tidak mendengarkan
ucapanku saking konsentrasi melihat pujaan hati berlaga. Hingga detik
pertandingan berakhir Quinta tidak berucap sepatah kata. Aku heran dibuatnya.
Sedahsyat itukah pubertas? Cintanya Quinta pada Fredy? Namun aku tidak melihat keberanian Quinta disini. Aku pikir Quinta
akan mendekati Fredy dengan pura-pura berbicara maengenai pertandingan.
Ternyata tebakanku salah. Quinta hanya
menitipkan salam melalui temannya yang ia rasa dekat dengan Fredy. Ah Quinta
ternyata hanya sebatas itu keberaniannya menghadapi pria yang ia sukai.
Waktu
berlalu begitu cepat. Pertemuan kedua dengan Fredy itu menjadi pertemuan
terakhir dengan Quinta. Kedepannya tidak adalagi pertandingan persahabatan
karena sudah dekat dengan ujian kelulusan. Berbulan bulan Quinta tidak pernah
lagi membicarakan Fredy. Aku berusaha tanya langsung pada Quinta mengenai kabar
perasaannya terhadap Fredy. Ia hanya menjawab nanti juga tahu sendiri. Aku
semakin bingung saja dibuatnya.
Banyak
teman sekolah yang mengetahui bahwa Quinta menaruh hati pada Fredy karena bahasa tubuh Quinta. Apalagi
teman satu tim selalu mengolok-olok Quinta dan Fredy saat bertanding
persahabatan waktu itu. Sampai pertandingan itu berakhir pun Quinta masih jadi
bahan olokan teman-teman satu tim. Quinta cuek saja sambil tersipu malu.
Lalu tiba-tiba Quinta mengajakku menghampiri ketua tim kami, yaitu Nina. Nina
adalah orang yang ia titipkan salam untuk Fredy. Rencananya Quinta mau bertanya
tanggapan Fredy atas titipan salam dari Quinta. Kemudian Nina menjawab,
“
Kamu mau tahu apa yang Kak Fredy bilang mengenai salam darimu? Aku takut kamu
sakit hati”
Aku
semakin penasaran saja apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga takut Quinta
kecewa. Tak lama Quinta menjawab dengan nada cuek,
“Kenapa harus kecewa? Biasa saja” ucapnya.
“Fredy
sebenarnya malu karena sudah tersebar gosip bahwa Quinta menyukai Fredy. Fredy bilang
Quinta bukan tipe perempuan yang ia suka karena badan Quinta gemuk.” Ucap Nina.
Aku
serasa disambar petir mendengar ucapan Nina,
apalagi Quinta. Bagaimana perasannya setelah mendengar perkataan Nina? Aku terus menatap wajah Quinta. Diraut
muka dinginnya, tampak garis kekecewaan. Ya Tuhan, aku tak sanggup mendengarnya.
Sebagai sahabat aku tak pernah mendengar Quinta disakiti.
Tak
lama aku mengajaknya pulang. Sepanjang perjalanan Quinta tak berucap sepatah
kata. Aku coba mencairkan suasana hati dengan bercerita lucu dan ia masih
merespon candaanku.
Sampai
didepan rumah Quinta, aku dibujuknya untuk menginap dan kebetulan besok hari libur sekolah. Karena orangtua aku
dan Quinta juga sudah sama-sama tahu jadi orangtuaku memperbolehkan menginap
untuk yang pertama kali aku diperbolehkan menginap dirumah teman.
Menjelang
malam Quinta mengajakku untuk membuat prakarya. Tapi aku dan Quinta kekurangan
bahan lalu kami pergi ke toko buku untuk membeli bahan. Sampai dirumah aku dan
Quinta melanjutkan prakarya tersebut. Aku heran kenapa tidak mendiskusikan terlebih dahulu.
Quinta hanya menyuruhku meneruskan pekerjaan
yang polanya dibuat oleh Quinta. Ya aku ikuti saja kemauannya. Setelah beberapa menit
berlalu, Quinta mulai berbicara sesuatu mengenai Fredy. Ternyata Quinta mau
memberikan sesuatu pada Fredy yaitu prakarya
yang sedang aku dan Quinta kerjakan. Prakarya itu berupa guntingan-guntingan
karton berwarna pink dengan bentuk love kemudian pada tengah-tengah guntingan love tersebut diberi
hurup dan disambung memanjang. Setiap
bentuk love ia sambungkan menjadi rangkaian love yang bertulisan “Fredy I love you.”
Aku
sempat tak setuju dengan tulisan itu. Kemudian
Quinta berdalih bahwa ia ingin Fredy tahu jika Quinta tak hanya sekedar suka
padanya, tapi ia ingin menunjukan bahwa Fredy itu cinta pertamanya. So sweet.
Aku salut pada Quinta. Pantas saja ia mengajakku menginap. Ternyata ia
membutuhkan bantuanku untuk membuat prakarya itu. Jika aku diposisi Quinta
mungkin aku sudah menangis sendirian dikamarku. Aku mungkin tak sanggup
menerima kenyataan pahit dan aku belum
siap untuk itu. Malam semakin larut akhirnya prakarya itupun beres. Kami pun
bergegas tidur.
Pagi
hari, Quinta dan aku pergi mencari rumah
Fredy. Ya ampun Quinta, aku bingung dengan tingkahmu ini. Apalagi yang akan ia
lakukan jika bertemu dengan Fredy! Quinta berharap bertemu Fredy dan memberikan
prakarya itu. Sebagai sahabat aku mau saja ikut bersamanya tapi aku takut Quinta
kecewa untuk yang kedua kalinya. Aku tak tega melihat dan mendengar kata-kata
yang menyakiti perasaan sahabatku. Mau bagaimana lagi aku harus menemani Quinta
mencari rumah Fredy. Dalam hati kecilku berharap agar Quinta tegar menerima
apapun yang terjadi nanti.
Tidak
sulit mencari rumah Fredy karena Quinta sudah mengetahui alamat Fredy dari Nina.
Setelah aku dan Quinta berada didepan
rumah Fredy, Quinta diam sejenak dan kemudian memencet bel rumah Fredy.
Tiba-tiba ada perempuan separuh baya membukakan pintu gerbang kemudian bertanya,
“ mau cari siapa”? ucap perempuan itu.
“Saya
mau bertemu Kak Fredy. Kak Fredy nya ada?”
Tanya Quinta.
“Oh
Fredy nya lagi keluar, tidak ada dirumah” jawabnya.
Tak
lama Quinta memberikan perempuan itu prakarya yang sudah dibungkus amplop besar
untuk disampaikan kepada Fredy. Setelah itu kami pergi tanpa masuk terlebih
dahulu kerumah Fredy.
Dalam
perjalanan menuju rumah Quinta. Quinta
bercerita bahwa itu terakhir kalinya ia
menyimpan rasa untuk Fredy. Quinta sudah tidak mau memikirkan Fredy
lagi. Dengan mengungkapkan isi hatinya melalui prakarya itu, hati Quinta sudah
lega. Aku baru mengerti maksud dan tujuannya. Lalu ia membicarakan ujian yang tinggal menghitung hari. Aku juga
berpesan pada Quinta untuk tetap belajar meraih cita-cita.
Aku
dan Quinta mulai fokus pada pelajaran, hingga ujian tiba kami tetap bersama-sama. Setelah beberapa
hari mengikuti ujian akhirnya tiba pada hasil pengumuman ujian. Dengan hati
yang berdebar-bedar takut kecewa dengan hasil yang kurang memuaskan, aku dan
Quinta tak henti berdoa. Dan akhirnya Quinta lulus diterima di SMU favorit dan
aku lulus diterima di SMU favorit yang berbeda. Aku senang sekaligus sedih
karena harus berpisah dengan Quinta. Namun Quinta meyakinkanku bahwa
persahabatan kami tidak akan putus karena jarak yang memisahkan.
Seiring
waktu berjalan tak terasa tiga tahun aku
tidak bertemu dengan Quinta. Mungkin Quinta sudah lupa padaku karena tidak ada
komunikasi selama tiga tahun. Aku dan Quinta sibuk dengan lingkungan yang baru. Dan tidak pernah ada kesempatan
untuk bertemu ataupun berkomunikasi.
Suatu
hari ketika aku sedang mendaftar ke perguruan tinggi tiba-tiba aku bertemu
orangtua Quinta dan memintaku untuk datang kerumah karena kebetulan Quinta
sedang ada dirumah. Ia juga sedang mendaftar ke perguruan tinggi. Mudah-mudahan
saja aku dan Quinta menjatuhkan pilihan pada kampus yang sama sehingga aku dan
Quinta bisa bersama seperti dulu. Aku senang mendengar Quinta ada dirumah. Ini
kesempatanku untuk bertemu dengan Quinta untuk itu aku bergegas ikut dengan
orangtua Quinta untuk bertemu sahabatku.
Tiba
dirumah aku langsung merangkul Quinta dan bercanda tawa. Begitu bahagianya bisa
dekat kembali dengan sahabatku. Namun ada yang sangat aneh dipenglihatanku,
Quinta menjadi langsing. Badannya sudah tidak gemuk lagi, pipinya sirus tidak
bulat seperti dulu. Quinta tampak cantik sekali, aku pangling dibuatnya. Quinta
juga memelukku erat dan sejenak aku dan Quinta berbincang menanyakan kabar
masing-masing, bagaimana kehidupan berlangsung ketika aku dan Quinta saling
berjauhan dan tidak ada komunikasi sama sekali.
Saking
serunya aku dan Quinta bercerita, ada sosok yang terlupakan. Sesosok pria
tampan berkulit putih sedang duduk disofa. Terlihat pria itu memandangi aku dan
Quinta. Quinta mengajakku untuk duduk disofa kemudian berkenalan dengan pria
tersebut dan ternyata pria itu adalah
pacar Quinta. Tambah terkejut aku oleh hal-hal baru yang dialami Quinta. Ternyata banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi pada Quinta, hanya satu ia tidak berubah, ia
masih menganggapku sebagai sahabatnya.
Pria
itu lalu bercerita padaku mengenai dirinya yang baru pertama kali berkunjung
kerumah Quinta dan juga bercerita mengenai aku karena Quinta bercerita banyak tentang
aku yang bersahabat sejak duduk dibangku SMP. Bangga sekali mendengarnya. Ternyata
Quinta tidak pernah melupakanku meski jarak terbentang.
Tak
lama pria itu pamit. Setelah pria tersebut diantarnya sampai pintu gerbang, Quinta
menghampiriku dan bercerita tentang dirinya yang giat berolahraga untuk
melangsingkan badan. Dalam satu minggu
Quinta berolahraga sebanyak 2 kali. Quinta
tdak megurangi makan atau diet tapi ia giat berolahraga saja. Aku pikir Quinta
diet dengan mengurangi makan atau minum obat pelangsing ternyata rahasia
langsingnya hanya berolahraga secara teratur. Lalu ia bercerita tentang sesosok
pria tampan tadi. Pria itu adalah alumni di SMU dimana Quinta sekolah. Ia
pemain basket juga, tepatnya pelatih basket tim Quinta di SMU. Dari cerita yang
singkat itu saja aku sudah bisa menebak mungkin saja pria tadi itu adalah teman
angkatan Fredy. Karena SMU favorit Quinta adalah tempat dimana Fredy sekolah. Dan
ternyata tebakanku benar. Pria tersebut adalah angkatan Fredy. Satu tim basket juga dengan Fredy. Saat kami dulu
bertanding dengan sekolahnya, pria tersebut tidak terlihat karena sedang cedera
kaki. Menurut cerita Quinta, ia sama sekali tidak tahu jika pelatih basketnya adalah
angkatan Fredy. Setelah sering bertemu dengan pria tersebut, cintapun bersemi.
Quinta menerima cinta pelatih basket itu. Kemudian kesempatan bertemu Fredypun
ada. Namun Quinta dikenalkan oleh pelatih basket itu pada Fredy yang notabene
mereka bersahabat juga seperti persahabatanku dan Quinta. Quinta pura-pura
tidak tahu saja. Seperti orang baru kenal padahal Fredy adalah cinta pertamanya
yang menyakitinya. Sekarang Quinta sudah punya pacar yang lebih segala-galanya dari Fredy. Itulah yang diceritakan Quinta
padaku. Ia tetap semangat menghadapi kenyataan pahit dan berakhir dengan indah.