Wishlist & Checkout page is available for premium users Buy Now
المشاركات

Perselingkuhan

Perselingkuhan
Color :
Size :
Hidupku tak seindah dan tak semulus kehidupan oranglain pada umumnya. Bagiku, hidupku selalu dalam kenistaan, penderitaan. Oranglain punya suami, begitu juga denganku. Oranglain punya anak, begitu juga denganku. Setelah aku punya semua itu, tapi hidupku tak kunjung membaik. Ekonomi finansialku selalu saja berada ditaraf paling bawah. Aku banting tulang untuk menghidupi anak-anakku, tapi tak pernah cukup. Apalagi suamiku tidak punya pekerjaan, semakin aku terpuruk dalam kondisi seperti ini. Hingga suatu saat aku bertemu seorang pria, yang mengubah hidupku. Semua kebutuhan menjadi tercukupi.
Namaku Astri. Aku adalah seorang wanita biasa, anak bungsu dari orangtuaku. Orangtuaku adalah segalanya bagiku. Namun karena kenakalan dimasa remajaku, aku mengecewakan mereka. Aku menikah dengan pria dalam kondisi hamil muda. Karena itulah orangtuaku menikahkan aku dengannya. Suamiku adalah orang yang sangat aku cintai, bernama Heru. Dia adalah temanku disekolah. Aku mencintai apa adanya. Saat itu hatiku berbicara, cintaku mengalahkan akal sehatku. Sempat orangtuaku tidak setuju akan pernikahan kami, mereka tidak mau anaknya mengalami nasib yang sama, orangtuaku bercerai, dan mereka satu sama lain sudah memiliki pendamping hidup yang baru. Tapi karena kondisi perutku yang semakin hari semakin membesar, mereka terpaksa menikahkan. Aku sama sekali tidak peduli dengan semua nasehat-nasehat orangtua, teman-teman dekatku, aku pegang teguh keyakinanku saat itu. Aku yakin aku bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang ku cintai. Orangtuaku berharap, ketika aku lulus SMU, aku bekerja dulu, belajar mencari uang, agar aku dewasa, pintar memaknai hidup. Karena dimata orangtuaku, aku masih belum dewasa dalam berpikir. Sedangkan teman-teman sekolahku, menyarankan untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Heru, karena Heru sedikit arogan.
Cintaku yang teramat dalam, mengalahkan segalanya. Setelah menikah, mulailah penderitaan datang menghampiriku. Suamiku yang pada saat itu menekuni bidang konveksi, meneruskan usaha orangtuanya, mengalami kerugian karena berkurangnya peminat. Aku coba bersabar, demi anak yang ku kandung. Hatiku terobati dengan adanya bayi dalam perutku yang senantiasa memberiku kekuatan untuk menghadapi semua. Bayi ini bergerak dengan sehat dalam perutku, aku sangat bersyukur masih diberi kepercayaan olehNYA untuk memiliki keturunan. Sampai tiba saatnya bayi ini lahir ke dunia. Suamiku menemaniku saat proses lahiran. Dia senantiasa memberiku semangat untuk selalu kuat dan bertahan dalam kesakitan. Saat itu kami tidak punya uang, mungkin tidak cukup untuk membayar biaya persalinan dibidan, jadi kami memutuskan untuk melahirkan dibantu oleh dukun beranak. Setelah sekian jam kontraksi, akhirnya bayiku lahir dengan kondisi normal. Bayiku laki-laki. Senangnya hati ini melihat bayi yang selama ini dalam perutku, sekarang ada disampingku dengan suara tangisannya yang begitu kencang. Bayi ini aku beri nama Tri. Namun setelah beberapa menit melahirkan, aku mengalami pendarahan. Ibu ku yang pada saat itu datang menjenguk, dengan sigap mengambil tindakan, agar darah tidak terus keluar.   
Aku sangat ketakutan, karena darah terus mengalir. Ingin rasanya duduk, tapi badanku tak berdaya. Setelah setengah jam berlalu, pendarahannya berhenti, karena kesigapan ibu ku. Saat itu aku mulai tersadar, betapa mulia nya ibu ku. Ketika aku kesakitan, dia masih mau menolongku, sedangkan aku seringkali menyakiti hatinya. Ucapanku, tingkah laku ku, selalu menyakiti ibu. Aku tidak pernah mau menuruti nasehat ibu. Aku hidup dengan keputusanku, entah keputusanku salah atau benar dimata ibu.
Ibu dan kakakku memberi uang, jadi biaya persalinan ditanggung mereka. Kakakku adalah sesosok wanita tangguh bernama Hesty. Ia sudah menikah dan dikaruniai seorang putri. Hesty berbeda denganku, ia selalu menuruti nasehat orangtua. Apa yang akan Hesty lakukan, ia selalu bicarakan dengan ibu. Terkadang aku iri melihat kedekatan Hesty dengan ibu, tapi aku sadar, Hesty memang anak baik, ia juga mau bantu ketika ibu sedang dalam krisis keuangan. Sebelum menikah, Hesty memang selalu membantu ibu .  Hesty bangun pagi buta, untuk menemani ibu membuat gorengan untuk ia jual dipagi hari. Aku sama sekali tidak berbuat apa-apa. Aku memang pemalas. Tak seharusnya Hesty membantu ibu, ibu juga tidak pernah meminta Hesty untuk membantunya. Sifat Hesty memang baik, santun, ia terus membantu ibu tak kenal lelah. Hesty menikah dengan pria yang baik pula, ia seorang pedagang bernama Dendy. Dulu, banyak pria yang mendekati Hesty, tapi ibu selalu menolak memberi restu pada Hesty. Sampai akhirnya ibu merestui pernikahan Hesty dengan Dendy, mereka dikaruniai anak bernama Gendis.
Dua hari setelah melahirkan, Hesty dan ibu pamit pulang, mereka tidak bisa menemaniku lagi karena mereka sudah meninggalkan suami-suami mereka untukku. Aku pun memahami mereka. Hari-hari aku lewati dengan mengurus anakku yang lucu. Senyumnya, tangisnya, memberi kehangatan. Suamiku terus berusaha memajukan usahanya demi anak istri. Siang malam ia berusaha bekerja keras untuk dapat menghidupi kami. Terus dan terus seperti itu. Setelah Tri berusia satu tahun, ternyata aku hamil lagi. Padahal aku sudah KB, tapi entahlah, mungkin ini rezekiku. Sebagian orang susah sekali untuk punya keturunan, bahkan rela mengeluarkan uang ratusan juta demi ingin memiliki keturunan, sedangkan aku begitu mudahnya mendapatkan seorang anak jadi aku tidak sia-siakan rezekiku ini. Dengan kondisi keuanganku yang semakin memburuk, aku masih bersabar dan selalu berdoa agar usaha suamiku berjalan lancar. Setiap hari aku berdoa, aku menangisi keadaanku, anak ku Tri harus berhenti menyusui karena aku hamil lagi. Aku harus memberinya susu kemasan, dan harganya tidak murah. Sedih hati ini melihat Tri harus terbengkalai. Semakin hari kebutuhan susunya semakin banyak, dan suamiku masih berkutat dalam keterpurukan. Aku coba menghubungi Hesty, dan meminta bantuannya. Hesty pun sama, ia tidak mempunyai uang lebih untuk diberikan padaku. Aku semakin bingung, harus berbuat apa demi kelangsungan rumah tanggaku. Aku tidak berani meminta bantuan pada ibu, karena ini adalah jalan yang telah aku aku ambil dan aku harus menanggung resiko sendiri. Dalam keadaan seperti itu, aku emosi melihat suamiku tidak lagi berusaha, kerjanya tiap hari hanya berdoa dan tanpa berusaha melakukan sesuatu.
Berdoa saja tidak cukup, kamu harus berusaha bagaimana bisa menghasilkan uang,"ucapku.
Setiap hari aku bertengkar, bertengkar karena masalah uang. Tri tidak tumbuh seperti anak kecil pada umumnya. Susu untuk Tri, aku sengaja buat encer, agar susunya awet, karena susu tak terbeli. Kepada siapa lagi aku meminta pertolongan ketika aku kesusahan?. Oranglainpun sedang dalam kesusahan. Namun tidak sesusah hidupku. Sedangkan Suamiku hanya mau bekerja pada satu bidang yang ia tekuni dan ia pahami. Ia tidak mau melakukan pekerjaan lain, sedangkan pekerjaan yang dulu ia tekuni memerlukan modal yang tidak sedikit.
Perutku bertambah besar, begitupun dengan pertumbuhan Tri. Aku serasa ingin mati saja. Namun aku teringat akan dosa. Aku juga masih ingin bersama anak-anakku meski hidup susah. Sampai titik darah penghabisan, aku akan berusaha berjuang demi anak-anakku. Aku sudah tidak mau lagi memikirkan suamiku.
Saat menjelang persalinan, ternyata Hesty lagi-lagi memberiku uang untuk biaya persalinan. Ada saja rezeki  untuk aku dan anakku. Anakku yang kedua seorang putra lagi, aku beri nama Andy.
Semenjak Andy lahir, aku bertekad untuk membantu suamiku untuk mencari uang. Aku coba berjualan sayur, kebutuhan rumah tangga, dengan modal sedikit. Tiap hari Tri dan Andy aku bawa berkeliling kampung untuk berjualan. Andy aku gendong, sedangkan Tri duduk di gerobak yang aku dorong. Dengan aku membawa mereka, banyak orang yang menaruh simpati padaku, tak sedikit orang berbelanja kepadaku. Mungkin karena mereka iba melihat kesusahanku. Ketika Andy menangis, aku berhenti dipinggir jalan dan berusaha memberi Andy ASI. Aku sudah tidak punya rasa malu lagi, ya harus bagaimana lagi, mungkin harus begini jalan hidupku. Tiap hari aku berjualan. Aku bawa kedua anakku, karena suamiku tidak bisa mengurus anak. Ia hanya bisa diam, berdoa, ngopi, merokok, tiap hari seperti itu. Kadang aku kesal dibuatnya. Kenapa baru sekarang aku tahu sifat sebenarnya dia?. Padahal ketika pacaran, ia sesosok laki-laki yang bertanggung jawab, dan  perhatian.
Terlintas dipikiran ku untuk bercerai, tapi aku malu pada ibuku. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya? Aku tidak mau membebani pikiran ibu yang sudah tua. Tapi aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku telan semua kepedihanku, aku tidak cerita pada siapapun, bahkan pada Hesty sekalipun. Ya Tuhan, apa salah dan dosaku sehingga anakku harus menanggung semuanya? Aku tidak tahan lagi untuk mengarungi kehidupan ini. Entah sampai kapan aku seperti ini!. Kapan roda kehidupan berputar, aku bisa hidup enak tanpa harus banting tulang seperti ini.
Selama berjualan, setiap aku pulang kerumah, aku bertengkar dengan suamiku. Sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam rumah tanggaku. Kakiku berpijak, tapi aku kehilangan arah tujuan, pikiranku labil, aku kalut. Aku tidak makan, demi membeli susu untuk Tri. Sakit hati ini, melihat buah hatiku berkesusahan.
Ketika Andy beranjak 6bulan, aku masih saja berjualan, suami ku tak kunjung mendapat penghasilan. Penghasilan dari berjualanku tak seberapa. Aku harus hemat, agar tercukupi semua kebutuhan anak-anakku. Terkadang klu anakku sakit, aku masih bawa berkeliling kampung. Aku tidak bisa menyuruh suamiku untuk belajar mengurus anak. Bahkan membantu aku berjualan saja ia tidak mau. Aku semakin bingung. Aku sudah tidak sanggup menanggung beban ini sendirian.
Ketika berkeliling kampung , memang aku punya trik khusus agar pembeli menjadi langgananku. Yaitu dengan memberikan mereka kenyamanan. Ketika mereka membeli daganganku, terkadang mereka mengajakku bercanda, bergosip sejenak sambil aku menyusui Andy. Ya melepas lelah setelah berkeliling kampung. Mereka juga terkadang menawariku minum untuk menghilangkan dahaga seusai berkeliling kampung dibawah terik matahari. Terkadang juga membicarakan masalah pribadi mereka, masalah rumah tangga. Sebisa mungkin aku melayani pelangganku yang selalu curhat. Aku hanya menjadi pendengar setia saja. Sesekali anak-anakku rewel, ya namanya anak kecil, ada saja maunya. Mereka kepanasan, mereka kehujanan, sudah menjadi makanan sehari-hari. Aku tak kuasa jika anak-anak aku titipkan pada ibu. Padahal bisa saja aku titip, tapi anakku membawa rezeki. Pernah suatu hari aku titip anak-anak ke tetangga, hasilnya jualanku tak laris, gak seperti klu aku bawa anak-anakku berkeliling. Sejak itu aku kapok, dan selalu bawa mereka bagaimanapun kondisi mereka. Yang aku pikirkan hanya satu, yaitu uang. Bagaimana aku mendapatkan uang demi anak-anakku juga. Tak sepantasnya aku bawa anak-anak berkeliling kampung, tapi mesti bagaimana lagi.
Hari-hariku berkutat diporos yang sama, tidak ada sama sekali perubahan. Aku terus berjualan, suamiku masih tetap diam, tak ada pekerjaan sama sekali. Pagi buta, aku belanja ke pasar untuk ku jual lagi. Aku gak bawa anak-anak karena masih tidur. Kasihan klu aku bangunkan anak-anakku, jadi dengan terpaksa dan dengan tergesa-gesa aku pergi belanja. Setiap hari aku lari-lari kepasar, karena kebetulan pasarnya gak terlalu jauh dari rumah. Sesampai dipasar, aku langsung belanja dilanggananku, yang selalu memberiku harga miring, ya namanya pasar subuh, harganya beda dari pasar di siang hari. Apalagi klu daganganku sudah masuk komplek, tambah mahal saja. Bagiku, keuntungannya lumayan untuk menghidupi anak-anakku. Aku sudah tidak memikirkan diri sendiri dan suamiku. Yang ada di otak ini hanya anak-anak. Setelah tiba dirumah, anak-anak masih tertidur lelap. Yang aku lihat hanya suamiku sedang ngopi dan merokok dibelakang rumah. Malas aku menyapanya. Apalagi membuatkan dia sarapan. Aku tak sudi.
Selesai membereskan jualanku, tak lama anak-anak bangun. Aku buatkan Tri susu, dan Andy aku beri asi. Bahagia tak terkira ketika melihat anak-anak terbangun dari tidur lelapnya. Dengan wajah polos, badan bau asam, rambut berantakan, aku sambut mereka dengan cintaku. Begitu sayangnya aku pada anak-anakku. Malaikat ku ini tak akan terganti. Karena mereka aku tetap semangat. Karena mereka aku masih bersama suamiku. Ketika melihat mereka, sejenak kesusahanku hilang, lelah hatiku sirna. Hampir tiga tahun sudah aku bersama suamiku membina rumah tangga. Tapi aku tidak bisa seperti istri pada umumnya, membuatkan sarapan untuk suami, membuatkan minum, menyiapkan makanan, melayani birahi suami. Aku tidak bisa. Hatiku sudah hancur, melihat sikap diam suamiku sejak Andy lahir. Dia tak mau membantuku berjualan. Itu yang sangat menyakitkan hatiku. Apa yang ada dibenak dia, hingga tak mau membantuku? Padahal aku berjualan untuk anak-anaknya, untuk kelangsungan hidupnya juga. Akhirnya aku juga diam. Tidak memperhatikan dia lagi. Terserah dia mau berbuat apa, aku tak peduli.
Setelah mengganti pakaian anak-anak, aku mulai berjualan. Andy dan Tri aku bawa. Mereka terlihat bahagia, hatiku tenang, ditambah cuaca mendung, tidak terlalu panas, mereka nyaman dengan cuaca seperti itu.
Tiba dikomplek yang setiap hari aku kunjungi, ada seorang ibu bertubuh tambun yang menantiku, dia adalah salah satu pelangganku yang baik hati. Ia memang selalu curhat padaku mengenai rumah tangganya. Seperti biasa aku hanya mendengarkan ceritanya sambil menyusui Andy yang sudah mulai rewel.
Ketika sedang mendengarkan ceritanya, tiba-tiba ada sesosok pria bertubuh tinggi besar keluar dari rumah ibu bertubuh tambun itu, dan ternyata pria itu adalah suaminya. Pantas selama aku jualan, dan dia selalu cerita tentang suaminya, aku tak pernah tahu yang mana suaminya, ternyata suaminya baru pulang dari luar kota. Suaminya dinas diluar kota, jadi pulangnya 6bulan sekali. Hal itulah sebenarnya yang sering diceritakan ibu bertubuh tambun itu, suaminya jarang pulang. Ibu bertubuh tambun itu spontan memperkenalkan aku pada suaminya. Aku hanya menganggukkan kepala saja karena aku merasa aku memang orang kecil, tak sepantasnya berkenalan dengan orang berada apalagi dengan seorang pria beristri. Sempat suaminya ajak bicara Tri dan mereka terlihat tertawa-tawa. Entah apa yang dibicarakan oleh suaminya pada Tri.  Kelar curhat-curhatnya, aku kembali keliling dan menggendong Andy yang tertidur dalam gendongan. Lama-lama aku enjoy, menikmati kesusahanku. Sudah tak terasa lelahnya berkeliling, dan panasnya terik matahari, karena pelangganku ramah-ramah, mereka dekat denganku seperti ibu bertubuh tambun tadi.
Jualanku laris, saatnya aku pulang kerumah. Ketika dalam perjalanan menuju rumah, aku merasa aneh, kenapa Andy tak seperti biasanya, ia banyak diam dalam gendonganku. Ternyata Andy demam. Aku bergegas pergi ke apotek untuk membeli obat.  Badanku tiba-tiba gemetar, melihat Andy sakit. Apa yang sudah ku perbuat hingga anakku sakit seperti ini?. Aku sangat merasa berdosa pada anak-anakku.
Tiba dirumah, aku membaringkan Andy dan memberinya obat. Sedikit aku pijat-pijat badannya. Tak hentinya aku menangis melihat belahan jiwaku sakit. Suamiku malah marah-marah melihat anaknya demam. Ia menyalahkan perbuatanku. Aku emosi mendengarnya berbicara seperti itu.
"Yang harus disalahkan adalah kamu, sebagai ayah kamu tak bisa mengurus anak-anak, tak bisa menafkahi anak-anak, kerjamu cuma diam saja, kamu yang sepantasnya disalahkan," ucapku.
Aku dan suamiku bertengkar hebat depan anak-anak. Tri yang mendengar aku bicara dengan keras, tiba-tiba menangis. Aku tersadar, tak sepantasnya aku berbicara dengan nada keras didepan anak-anak. Tri menghampiriku dan aku memeluknya.
"Ibu minta maaf ya Tri, ibu sayang kamu nak,"ucapku.
Suamiku tak lama terdiam, dia lanjutkan bakar rokoknya. Sedangkan aku duduk bersama Tri disamping Andy yang terbaring sakit. Tri sudah mengerti, bahwa adiknya sakit. Tri juga mengusap-usap dahinya Andy. Bercucuran air mataku melihat ulah Tri. Ternyata anakku sudah besar, sudah paham arti kasih sayang. Hatiku senang sekaligus terharu. Tri dan aku menjaga Andy. Sedangkan suamiku cuma bisa bicara, klu dia sayang anak-anak.  Nyatanya dia tidur pulas, sambil ngorok, dan tak sedikitpun ia memperhatikan atau menjaga Andy.
Tak lama Tri tertidur disamping Andy. Sedangkan aku tidak bisa tidur melihat Andy sakit. Aku ingin mata ini terjaga untuk melihat Andy ku sayang. Doaku, semoga anak-anakku sehat selalu, Andy lekas sembuh, kembali ceria seperti semula.
Tengah malam Andy bangun, mata sayunya memandangku, akupun meneteskan air mata. Betapa baiknya anak ini. Sakitpun ia tak rasa. Terbersit dipikiranku untuk tidak berjualan dulu. Aku ingin Andy sembuh dulu.
Esok hari, aku tidak berjualan. Dan Andy sudah agak mendingan, kondisi badannya sudah tidak demam. Karena terbiasa pagi hingga sore aku keluar rumah, saat itu aku jenuh sekali dirumah melihat suamiku dengan kebiasaannya itu. Kesal rasanya melihat dia diam. Klu bukan karena Andy sakit, aku tak mau diam dirumah, karena pasti ujung-ujungnya bertengkar. Aku inisiatif untuk membersihkan rumah. Sudah lama aku tak pernah membereskan rumah semenjak berdagang. Pagi hari aku sudah pergi, sore aku pulang kerumah, sudah malas untuk beres-beres karena sudah terlalu capek.
Ketika sedang membersihkan rumah, tiba-tiba ibu datang. Mendengar Andy sakit, ibu menjenguk Andy. Ibu putuskan untuk menginap dirumah. Kebetulan sekali aku bersih-bersih rumah, karena Ibu selalu menegurku jika rumahku berantakan. Apalagi sudah ada anak-anak, ibu terlalu protektif juga pada cucu-cucunya. Tak hanya pada Tri dan Andy, pada anak Hesty pun ibu bersikap seperti itu. Saking sayangnya pada cucu, jadinya seperti galak, banyak bicara. Dan akhirnya ibu tahu klu aku berjualan, karena melihat gerobak didepan rumah. Tapi aku tidak cerita bahwa aku bawa anak-anak berkeliling. Bisa-bisa ibu marah besar dan mengambil anak-anakku untuk ibu urus. Aku berbohong pada ibu. Aku bilang klu anak-anak diurus bapaknya ketika berjualan. Jadi kita sama-sama bagi tugas. Padahal omong kosong. Aku tutupi demi kebaikan semua. Aku juga pura-pura romantis pada suamiku didepan ibu.
Ibu juga menanyakan bagaimana usaha suamiku. Ya aku bilang saja lagi gak usaha karena sudah tidak punya modal. Ibu menawarkan untuk tinggal dirumahnya, tapi aku tidak mau karena suami ibu sekarang bukan bapak kandungku. Suamiku mau-mau saja tinggal bersama ibuku, tapi aku tidak nyaman, gak enaklah, masa sudah nikah, masih tinggal dirumah orangtua.
Andy semakin membaik, Tri juga nyaman bersama ibu. Anak-anakku fokus bersama neneknya. Aku berencana untuk berjualan besok, mumpung ada ibu yang mau urus anak-anak. Lalu aku bercengkrama seharian bersama ibu. Bebanku sedikit berkurang, meski aku tidak cerita pada ibu. Hanya dengan dekat dengan ibu, bicara dengannya, hatiku nyaman. Penat yang selama ini melanda, sejenak hilang. Dan baru kali itu aku memasak dirumah, karena selama Andy lahir, aku tidak pernah memasak untuk suamiku. Karena ada ibu saja, aku mau masak. Dan baru kali itu juga aku dan suamiku makan bersama-sama.
Seperti biasa pagi buta aku pergi kepasar, aku tidak tergesa-gesa karena ada ibu, yang senantiasa menjaga anak-anakku. Setelah selesai belanja, aku pulang kerumah. Aku menyusui Andy dulu, becanda dengan Tri. Dan tak lama aku berangkat keliling kampung. Aku pasrah saja mau jualanku habis atau tidak yang penting aku sudah berusaha. Setelah sampai komplek, yang biasanya ada ibu bertambun menungguku didepan rumahnya, tak terlihat batang hidungnya. Yang kulihat hanya suaminya. Kemudian aku tawarkan jualanku. Aku berhenti didepan rumahnya dan bertanya pada pria itu, kemana istrinya. Lelaki itu malah bertanya balik padaku,
"Kemana anak-anaknya koq gak dibawa? Kemarin gak jualan ya? Ibu kemarin tunggu-tunggu kamu tapi gak ada. Sekarang ibu lagi keluar rumah," ucapnya.
Mendengar lelaki itu bertanya, aku grogi. Karena aku tak biasa berbicara dengan lelaki lain.
"Anak-anak dirumah, yang kecil sakit jadi gak saya bawa,"jawabku.
Kemudian lelaki itu memberiku uang yang ia selipkan dalam  daganganku. Ia bilang untuk beli susu anak-anak. Melihat dan mendengar ia berkata seperti itu, detak jantungku berdebar kencang. Aku bingung, harus berkata apa padanya. Aku benar-benar tak biasa berbicara dan tak mahir untuk mengucap kata-kata yang sopan. Spontan aku kembalikan uangnya namun ia menolak dan cepat-cepat masuk kedalam rumah. Tambah bingung saja aku harus bagaimana. Dengan detak jantung yang masih tak karuan, aku mencoba pergi dan meneruskan berkeliling komplek. Setelah kejadian itu, berjualan pun aku tidak enak. Baru pertama kali aku berbicara dengan lelaki lain, apalagi sampai aku diberi uang secara cuma-cuma. Tapi aku coba untuk berpikir positif saja. Dan aku mendoakan semoga ia diberi rezeki yang lebih dari pemberiannya padaku.
Sore tiba, aku bergegas pulang kerumah, dengan hati gembira karena mendapat rezeki tak terduga. Dalam perjalanan, aku putuskan untuk membeli susu untuk Tri, mumpung ada uang.
Setelah membeli susu, aku pulang ke rumah. Setiba di rumah, Tri dan Andy sudah terlihat menungguku didepan pintu. Aku rangkul mereka, dan masuk ke dalam menyapa ibu. Ibu ternyata sudah menyiapkan makanan untukku. Kemudian kami makan bersama. Inilah suasana yang aku inginkan,  kebersamaan. Aku gak terlalu berat menanggung beban, anak-anak ada yang urus. Mudah-mudahan keadaan terus seperti ini, tapi itu hanya mimpi. Ibu tak mungkin selalu bersama ku. Dia juga harus mengurus suami.
Kangen sekali sama Tri dan Andy, karena mereka terbiasa aku bawa berkeliling. Andy sepertinya mau minum susu kemasan. Karena setengah hari ini ia diberi susu kemasan oleh ibu. Ibu belikan susu untuk Andy. Tiba-tiba ibu bertanya kepadaku, koq sepertinya suamiku tidak bisa urus anak!. Karena yang mandikan anak-anak itu ibu. Bapaknya anak-anak coba mandikan, ibu lihat caranya memandikan anak, dari situ ibu curiga klu suamiku tidak pernah bahkan tidak bisa mengurus anak, dan ibu bergegas meminta suamiku berhenti memandikan anak-anak.
" Sudah, biar ibu saja yang mandikan anak-anak,"ucap ibu.
Ibu juga melihat kerjaan suamiku cuma diam, merokok, dan ngopi. Kaya gak ada kerjaan saja. Ibu sepertinya tidak suka atas sikap suamiku. Aku berusaha coba tutupi, dengan alasan stres karena tidak punya pekerjaan. Dan ibu sepertinya mengerti keadaan suamiku. Setelah melepas lelah bersama anak-anak, mereka tertidur dalam pangkuanku. Andy semakin membaik saja. Mungkin Andy kelelahan karena aku gendong terus, kepanasan juga berkeliling kampung. Ibu juga sudah mengantuk, ia pun pergi tidur. Sedangkan aku, memikirkan uang yang tadi ku terima.  Harus aku apakan uang ini?. Untuk modal belanja saja ini lebih dari cukup, masih banyak sisanya. Lalu aku berbicara pada suamiku untuk mencoba lagi usaha yang sudah gulung tikar. Dan aku memberinya uang. Ia bertanya darimana uang yang ku beri padanya!. Aku jawab,
" Aku dapat arisan. Selama ini kamu gak pernah tau klu aku ikut arisan ibu-ibu komplek."
Ia diam seribu bahasa. Bukannya malah senang, dapat modal untuk usaha. Aku ikut-ikutan diam saja, karena dia gak respon pembicaraanku. Tak lama lalu ia meminta uang untuk modal yang ku janjikan. Kemudian ia pergi keluar rumah untuk mencari bahan dan segala keperluan konveksi. Saat itu aku tidak berharap banyak usahanya akan maju kembali, tapi minimal aku sudah memberinya peluang untuk usaha, demi anak-anak juga. Dan rencanaku esok hari berjualan lagi tanpa anak-anak karena ibu masih ingin menginap dirumah.
 Esok hari, aku berkeliling setelah belanja di pagi hari. Sebenarnya aku sudah bosan setiap hari begitu-begitu saja. Tapi ya apa daya. Harus aku jalani, daripada diam dirumah melihat suamiku bermalas-malasan. Dan tampaknya suamiku juga sudah mulai sibuk dengan usahanya, meski belum total. Lalu aku terus pergi saja untuk berjualan.
Ketika masuk komplek, sudah ada ibu-ibu yang menungguku. Ku hentikan gerobak didepan rumah mereka. Mereka mulai mengajakku becanda dengan guyonan mereka. Sumringah ku jadinya. Lalu aku ingat ibu bertubuh tambun, apa ada dirumah atau tidak!. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibu-ibu, mereka bilang ibu bertubuh tambun itu sedang pergi kerumah orangtuanya dari kemarin, mungkin hari ini sudah ada dirumahnya. Dalam hatiku, pantas saja kemarin dia tak terlihat. Aku pun berniat untuk berhenti dirumahnya, menawarkan jualanku. Setelah melepas lelah dengan becanda tawa, aku mulai mendorong gerobakku menuju rumah ibu bertubuh tambun.
Sampai didepan rumahnya, aku coba berteriak. Dan ternyata yang keluar rumah, suaminya lagi. Aku mulai grogi. Hatiku berdetak kencang, takut salah bicara atau salah bersikap. Suaminya menyuruhku masuk kerumah, katanya ibu sedang menungguku didalam. Aku tidak berani masuk kerumahnya. Karena sejak aku kenal ibu bertubuh tambun, ia belum pernah mengajakku masuk rumah,  hanya duduk dihalaman depan rumahnya saja.
" Gak usah pak, biar saya tunggu disini saja," ucapku.
Lalu suaminya mengajakku berbincang. Dia menanyakan anak-anakku, kenapa tidak dibawa. Aku jawab seperti kemarin saja, klu anakku masih sakit.
" Aku tahu suamimu tidak bekerja, kamu yang menghidupi anak-anakmu. Kamu benci pada suamimu karena tidak mau bantu berjualan, dan kamu sudah jenuh dengan semua yang ada didepan matamu. Dan anak-anakmu, yang selalu menjadi penyemangatmu," ucapnya.
Mendengar ucapannya, aku heran dan semakin takut, darimana dia tahu kehidupan pribadiku? Sedangkan selama ini aku tidak pernah cerita pada siapapun tentang rumah tanggaku. Aku telan sendiri semua. Tanpa banyak bicara aku bergegas pergi. Karena ibu bertubuh tambun tak terlihat menghampiriku. Lalu suaminya menarik tanganku dan menghentikan langkah kakiku dan berkata,
" Aku iba padamu. Aku bisa berikan semua yang kamu butuhkan, asal kau melayaniku."
Dengan suasana hati yang tak karuan, aku percepat langkah kakiku yang gemetaran. Dan aku dorong gerobak daganganku tanpa menoleh. Dalam perjalanan, aku sedih, tak habis pikir, koq ada pria seperti itu! Aku merasa dilecehkan dengan semua perkataannya. Baru kali ini ada orang yang melecehkanku. Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku? Padahal aku tidak cantik, kulitku gelap terbakar terik  matahari setiap hari, dan aku juga bukan orang yang berpendidikan seperti dia. Jika hanya nafsu, aku rasa dia lebih bisa mencari dan mendapatkan perempuan yang pantas buat dia. Jadi apa yang sebenarnya yang ia inginkan?.
Aku peluk Tri dan Andy setiba dirumah. Sementara Harga diriku tercobak cabik dengan perkataan suaminya. Tapi aku tetap semangat, aku coba untuk tidak mengungkapkan rasa kecewaku didepan suamiku dan ibu. Saat itu aku hanya ingin bersama anak-anakku. Pikiranku kalut. Memikirkan semua ucapan suaminya. Haruskah aku tergoda padanya? Meski tak dapat dipungkiri memang suaminya berwajah tampan,  putih bersih, berbadan tegap. Sedangkan suamiku, berbadan kurus, rambutnya ikal, kulitnya coklat.
Ibuku bertanya padaku, darimana suamiku mendapatkan uang. Karena ibu melihat usaha konveksi suamiku sudah mulai ia kerjakan. Aku jawab bahwa itu uangku, hasil dari arisan. Dan ibuku menyarankan agar anak-anak biar diurus sama ibu saja, selama aku berjualan. Klu aku sudah selesai berjualan, aku tinggal ambil anak-anakku dirumah ibu. Tawaran ibuku membuat aku sedikit lega. Tapi aku juga tidak enak pada ayah tiriku. Kemudian Ibu meyakinkanku, agar aku tidak usah memikirkan ayah tiriku nanti jika anak-anak aku titipkan. Setelah berbicara dengan ibu, tak lama Ibu memutuskan untuk pulang.
" Jangan lupa besok pagi, antarkan anak-anak ke rumah sebelum kamu jualan," ucap ibu.
Aku pun mengamini ucapan ibu. Karena rumah ibu tidak jauh dari rumahku. Aku bersyukur, ibu masih mau perhatian sama aku. Anak-anak juga sepertinya nyaman diurus oleh ibu, mereka tidak rewel. Ya daripada aku ajak keliling kampung, gak panas, gak hujan, aku tetap bawa, lebih baik sama ibu saja. Aku percayakan anak-anak pada ibu.
Setelah mengantar ibu pulang, aku kembali mengurus anak-anak. Sementara suamiku sedang sibuk dengan usahanya. Aku sudah tidak melihat dia diam, melamun.
Keesokan hari, aku tinggalkan anak-anak untuk pergi ke pasar subuh. Setelah selesai, tiba dirumah, Tri dan Andy sudah bangun. Lalu aku memakaikan baju. Sedikit berkemas pakaian anak-anak, botol susu, karena aku mulai menitipkan anak-anak pada ibu. Dengan membawa gerobak dan anak-anak, aku pergi ke rumah ibu. Sepanjang jalan menuju rumah ibu, ada saja orang yang membeli jualanku. Karena aku belum pernah berjualan yang mengarah ke rumah ibu. Dan aku sangat menghindari itu. Karena awalnya aku tidak mau jika Ibu mengetahui kalau aku berjualan. Memang Rezeki tak dapat ditolak, jualanku hampir habis ketika aku sampai dirumah ibu. Dan sepertinya aku tidak harus berkeliling kampung. Jadi aku istirahat saja dirumah ibu.
Selama satu bulan, aku tidak berjualan berkeliling kampung, karena aku berjualan ke perkampungan sekitar rumah ibu. Itu adalah saran ibu. Ternyata ketika aku turuti sarannya, memang jualanku lebih cepat habis ketimbang berkeliling kampung. Pastinya gak terlalu capek juga. Anak-anak tidak lagi rewel karena kepanasan, jam 11 saja daganganku sudah habis. Klu aku berkeliling, jam 2 sore baru habis. Dan sekarang aku merasa relaks. Tak banyak pikiran. Anak-anak tumbuh dengan sehat. Suamiku? Ternyata memang ia sudah tidak bisa memajukan usahanya. Ketika dapat untung, habis dengan sekejap untuk bayar listrik, bayar kontrakan. Klu begitu caranya, lama-lama modal habis terkikis. Entahlah, aku bingung harus bagaimana menghadapi suamiku. Suamiku itu tipe orang yang susah diajak bicara, susah diajak sharing, susah dikasih masukan, jadi terserah bagaimana dia saja. Aku tak mau ambil pusing.
Hari-hari berlalu. Jualanku semakin bertambah banyak, dan aku harus berkeliling kampung lagi. Sudah hampir 2bulan aku tidak mengunjungi ibu-ibu komplek. Serasa ada yang hilang saja. Sudah lama aku tidak mendengarkan mereka curhat. Setelah aku titipkan anak-anak, aku mulai pergi berkeliling kampung. Tiba dikomplek, aku gak enak hati ketika melihat ibu-ibu yang sedang menungguku.
" Kemana saja kau selama ini, susah sekali aku beli daganganmu, sudah kaya ya sekarang? Sampe gak mau keliling ke komplek ini?"ucap mereka.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, hati ku tenang, berarti mereka tidak marah padaku. Sepintas aku melihat rumah ibu bertubuh tambun. Terlihat sepi sekali. Dan aku mendengar ibu-ibu bergunjing mengenai ibu bertubuh tambun. Kata mereka, suaminya ganteng, kaya, tapi kasihan belum dikaruniai anak. Padahal sudah lama menikah. Mereka pun menyuruhku mampir kerumah ibu bertubuh tambun, karena ia sempat bertanya tentang aku yang sudah jarang lewat ke komplek.
Kemudian aku coba mampir ke rumah itu. Ternyata yang keluar dari rumah, suaminya lagi. Duhh, aku langsung grogi. Kemudian aku memberanikan diri menawarkan jualanku. Dan ia menghampiri lalu menarik tanganku masuk kedalam rumahnya. Disana ia  mencumbuiku sambil berkata,
" Aku suka kepolosanmu, jadilah kekasihku dan aku akan mencukupimu."
Saat ia mencumbuiku, aku sedikit menikmati, sudah lama aku tidak merasakan dekapan seorang pria. Aku sudah tidak pernah disentuh suamiku.  Tak lama aku tersadar dan pergi. Suaminya memberiku hp yang sudah ia siapkan untukku, yang ia selipkan disaku bajuku. Aku bergegas pergi. Sadar aku dengan kejadian itu, salahku telah memberinya kesempatan.
Lalu aku pergi menuju rumah ibu untuk ambil anak-anak. Tiba dirumah ibu, aku sejenak melepas lelah. Lalu aku coba lihat handphone yang ada disaku bajuku. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Aku merasa hampa. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sayang anak-anakku. Tapi aku sudah tidak ada rasa pada suamiku. Mau cerai, kasihan anak-anak. Mau lanjut, aku tersiksa. Aku sangat bingung. Apa yang harus aku lakukan?. Ingin rasanya aku curhat dengan ibu, tapi tak bisa.
Pulang kerumah, ku lihat suamiku sedang termenung. Aku sudah malas menanyakan ada apa dengan dia. Tak peduli usahanya maju, atau diam ditempat, aku tak mau tahu. Aku hanya ingin istirahat dan bercengkrama dengan Tri dan Andy. Tiba-tiba suamiku mengajakku bicara. Ia berkata bahwa Ia tak sanggup untuk mengerjakan pekerjaannya. Terlalu banyak kesulitan yang ia hadapi, jaman sudah modern, sedangkan ia masih menggunakan alat-alat kuno sehingga hasilnya kurang maksimal.
" Terserah kamu sekarang, aku sudah capek. Suka-suka kamu saja." ucapku.
Aku kesal sekali, entah sampai kapan aku harus sabar menghadapinya. Selama ini aku diam, tak mau ambil pusing, karena dia tak pernah mau mengerti keinginanku. Aku hanya ingin dia berusaha, pekerjaan apapun itu. Gak mesti usaha di satu bidang, aku ingin dia mau mencoba yang lain. Sengaja aku kasih dia modal, agar mata hatinya terbuka, menjalankan usaha konveksi dijaman sekarang bukan hal mudah. Dan hasilnya, ia bersikukuh untuk usaha konveksi, tanpa mau mencoba hal lain. Batas sabarku sudah habis, percuma aku beri dia modal, ternyata dia tidak berpikir.
Handphone ku berdering ketika aku sedang berbicara dengan suamiku. Ternyata ada sms dari suaminya ibu bertubuh tambun. Aku kaget, dan takut suamiku berpikiran macam-macam padaku. Suaminya menanyakan kabar anak-anakku. Aku balas sewajarnya. Suamiku tidak curiga, ia pikir aku membeli hp ini dari hasil arisan. Mungkin ia tak mau melarangku karena itu adalah uangku. Ia tidak berkomentar sedikitpun.
Selama aku pegang hp itu, setiap malam ia menghubungiku disaat semua orang sedang tidur. Suamiku tak curiga karena aku sudah lama tidak tidur sekamar dengannya. Rumah tanggaku dimata oranglain mungkin aneh. Aku dan suami tidak ada rasa saling memiliki, tidak ada perhatian satu sama lain. Hidup bersama dalam satu atap tapi terpisah dalam segala hal. Apa boleh buat, demi anak-anak, aku jalani semua itu.
Waktu berlalu, aku merasa lelah dengan semua kegiatanku, dan aku putuskan untuk tidak berjualan lagi. Suaminya ibu tambun yang menyuruhku untuk tidak berjualan lagi. Sebetulnya, ia mendekatiku karena ia ingin mempunyai seorang anak. Hampir 10 tahun ia berumah tangga dengan ibu bertubuh tambun, tak kunjung dikaruniai anak. Suaminya terang-terangan padaku apa sebenarnya niat ia mendekatiku. Cukup berat buatku, menjalani hubungan terlarang ini. Lama-lama aku menikmatinya. Aku juga tidak perlu berjualan lagi karena suaminya menopang kebutuhanku dan anak-anak.
Kerjaanku hanya mengurusi anak-anak saja. Suaminya selalu menemuiku di tempat yang sudah dijanjikan. Ia punya rumah didaerah lain. Jadi aku selalu menemuinya disana. Semakin hari hubungan kami semakin lengket saja. Suaminya seperti suamiku sendiri. Mungkin bedanya aku tidak satu rumah dengan suaminya. Selama ini suaminya lah yang sangat peduli padaku dan anak-anakku. Ketika anak-anakku membutuhkan sesuatu, suaminya selalu memfasilitasi. Aku ingin berjualan seperti dulu, tapi suaminya melarangku,
" Kasian kamu nanti capek klu harus berjualan keliling seperti dulu. Sudahlah, kamu tinggal urus anak-anak kamu,"ucap suaminya.
Teringat aku akan niatnya dulu ketika pertama kali bertemu aku. Dia menginginkan seorang anak dariku. Saat aku tanya langsung padanya, ternyata ia mengurungkan niatnya, karena terlalu iba padaku. Katanya beban hidupku terlalu berat, ia tidak mau menambah bebanku. Padahal sudah hampir dua tahun aku berhubungan dengannya. Lalu aku memintanya untuk mengakhiri hubungan, tapi ia menolak bahkan marah-marah. Katanya ia tidak sanggup hidup tanpa aku, tidak ada yang bisa diajak sharing.
" Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku.
Dia hanya bilang, ikuti saja air mengalir. Bagaimana pun ujungnya, kita harus menerimanya. Aku berpikir, ya mudah-mudahan semua berjalan dengan baik. Tidak ada yang dirugikan.
Anak-anakku tumbuh besar, Tri dan Andy sudah masuk dibangku sekolah dasar. Aktifitasku, mengantar mereka sekolah. Aku tunggu sampai sekolah selesai. Semua biaya sekolah, sampai beli baju dan buku, ditanggung oleh suaminya. Suamiku tidak berbuat apa-apa. Ia tidak bekerja, usaha yang dulu aku beri modal, gak berkembang. Suamiku hanya tahu klu aku jualan pulsa. Dari hasil jualan pulsa, aku bisa menghidupi anak-anakku. Padahal sebenarnya tidak seperti itu.
Aku dan suaminya selama berhubungan, tidak pernah sekalipun bertengkar. Sering sekali berbeda pendapat, tapi tidak pernah sampai bertengkar hebat. Aku dan suaminya selalu ambil jalan tengah. Jadi tak menimbulkan perselisihan. Untuk hal kecil, tidak pernah dibesar-besarkan. Apalagi hal besar, sebisa mungkin kita kecilkan.
Setelah 5tahun menjalin hubungan terlarang, ibu bertubuh tambun itu aku dengar sedang hamil. Penantian yang cukup lama untuk seorang wanita, menantikan buah hati. Aku membicarakan kehamilannya pada suaminya. Agar aku tak membebani suaminya, aku putuskan untuk menjauh. Lagi-lagi suaminya tidak mau jauh dari aku.
" Darimana kamu menghidupi anak-anakmu, untuk biaya sekolah mereka, bagaimana kamu bisa menanggungnya sendiri?"ucap suaminya.
Aku juga tidak mau membebani suaminya. Apalagi anak adalah sesuatu yang sangat ia tunggu-tunggu sejak lama. Aku tidak tahu harus bagaimana, harus terus jalani seperti ini atau berakhir saja? Satu sisi, aku bersuami, ia pun beristri. Sisi lain suaminya semakin dan terus memperhatikan anak-anakku, dengan memasukkan anak-anak les tambahan diluar sekolah. Membelikan mereka tas, baju, buku, bahkan hp. Anak-anak tidak pernah tahu hubunganku dengan suaminya. Begitupun suamiku.
Ketika Tri kelas 3 SMU, dan Andy masuk kelas 1 SMU, aku hamil lagi. Suamiku tahu, suaminya juga tahu. Tak terpikirkan olehku untuk menggugurkan kandunganku. Aku jaga kandunganku. Suaminya yang sangat perhatian padaku, bukan suamiku. Suamiku dari dulu sangat dingin padaku. Dia hangat padaku saat ingin menafkahi batin saja, suamiku berubah menjadi hangat dari setahun yang lalu. Mau tidak mau aku harus melayaninya.
Suamiku tak mau tahu darimana aku membiayai anak-anak. Pada Tri dan Andy saja, ia cuek. Suamiku bisanya hanya menyuruh pada anak-anak. Tapi anak-anak tidak pernah mengeluh, mereka sangat sayang pada ayahnya. Anak-anak juga tidak tahu klu ayahnya tidak menafkahi mereka. Yang mereka tahu, aku dan ayahnya adalah orangtua mereka yang harus mereka hormati. Mereka sangat sayang padaku. Tak pernah mereka membantah apa yang aku ucapkan. Mereka penurut. Apalagi melihatku hamil tua, mereka sangat memperhatikan aku.
Tiba saatnya aku melahirkan, Andy yang menungguku dirumah sakit. Sedangkan Tri sedang menghadapi ujian. Aku mengalami pendarahan lagi, seperti ketika aku melahirkan Tri. Bayinya ternyata perempuan, dan ku beri nama Virzin. Terlihat suamiku sangat bahagia mendengar bayinya perempuan. Padahal jika di tes DNA, aku tidak tahu itu anak siapa. Suaminya membiayai persalinanku. Ia juga sangat perhatian. Entah sampai kapan hubunganku dengan suaminya berakhir. Aku tidak bisa meninggalkannya, begitupun dengan suaminya. Sudah bukan rasa cinta yang ku punya untuknya, tapi rasa sayang yang sangat berlebihan, sehingga satu sama lain enggan untuk berpisah. Satu sama lain sudah merasa nyaman. Aku tidak pernah mengganggu rumah tangga dia, begitupun dia.
Roda kehidupan berputar, kujalani dengan mengurus Virzin. Aku membesarkannya dengan uang pemberian suaminya. Suamiku sampai detik ini tidak bekerja. Itu yang sangat aku sesali. Penyesalan yang sangat buatku.
Setelah Virzin berusia 3tahun, ibuku meninggal. Aku sangat terpukul kehilangan ibu. Hesty yang tinggal dikota lain, datang bersama suami dan anaknya. Hesty juga sangat terpukul. Ia sangat sayang ibu. Aku dan Hesty menginap dirumah ibu.
Ibu meninggal karena serangan jantung. Selama hidup, ia tidak pernah mengeluh sakit, bahkan sehat-sehat saja. Ibu sempat dilarikan ke rumah sakit, dirawat selama 3hari. Saat aku tahu ibu dirawat, aku kabari Hesty, dan kami bergantian menjaga ibu. Hari ke tiga di rawat, aku lihat ibu sangat cantik, aku tidak tahu klu itu adalah pertanda. Ia meninggal saat  tidur siang.
Perasaan, pikiranku kalut. Aku merasa manusia yang paling hina, sangat berdosa, karena aku belum bisa membahagiakan ibu, yang ada aku selalu menjadi beban ibu.
Aku merasakan hal yang aneh dengan bapak tiriku. Meski ia bukan bapak kandungku, aku sudah menganggapnya lebih dari itu. Aku kasihan padanya, ia sangat mencintai ibu, ia terpukul. Tidak bisa diajak bicara, hanya diam saja. Aku tahu bapak tiriku mungkin stres, depresi ditinggal ibu. Aku tawarkan makan, ia tidak mau. Ibu dan bapak tiriku memang tidak dikaruniai anak, jadi aku dan Hesty adalah anak tiri nya.
Tak lama, aku putuskan untuk pulang ke rumah, aku dan hesty pamit pada bapak tiriku. Tak tega aku meninggalkannya sendirian, tapi ya harus bagaimana lagi, anak-anakku harus sekolah, aku harus mempersiapkan makannya, pakaiannya.
Doaku selalu ku panjatkan untuk ibu. Aku tidak ingin larut dalam kesedihan. Suaminya tahu kabar tentang ibuku. Ia turut berduka. Semakin aku berat untuk berpisah dari suaminya. Hanya suaminya lah tempat aku mengadu sekarang.  Aku tidak bisa mengandalkan suamiku. Hubungan terlarang ini terus aku jalani tanpa diketahui oleh semua orang, sampai aku menikahkan Tri. Setelah lulus SMU, Tri kerja di pabrik. Ia punya penghasilan sendiri. 3tahun bekerja, ia lalu berniat menikahi teman kerjanya. Waktu itu aku bingung, aku tidak punya uang untuk menikahkan anakku. Meski Tri punya tabungan kecil-kecilan, itu tidak cukup. Lalu suaminya memberiku uang untuk menikahkan Tri. Aku sangat berterima kasih sekali pada suaminya. Tak seharusnya ia begitu. Yang harus bertanggung jawab adalah suamiku.  Tidak pernah sedikitpun suaminya mengabaikan aku dan anak-anakku. Ia selalu mengikuti perkembanganku. Suaminya lah yang menjadi tumpuan hidupku, suaminya lah yang memberiku kehidupan. Sampai aku berada di titik nadir, suatu hari aku di vonis mengidap penyakit paru-paru.
Sejak itulah aku sadar akan semua dosa-dosaku. Aku tidak mau lagi melanjutkan hubunganku dengan suaminya. Apapun nanti resikonya, aku akan tanggung sendiri. Aku hanya tinggal memikirkan Virgin. Biaya sekolahnya. Karena virgin sudah mau lulus SMU. Jadi aku tidak terlalu berat mencari uang.
Tapi suaminya tidak mau mengakhiri hubungan ini. Ia masih tetap saja mengirimku uang meski aku telah memutuskannya dan tidak lagi bertemu. Sampai Virgin lulus SMU, ia masih mengirimkan aku uang.
Inilah hidupku sekarang, dengan penyakitku, dan dengan semua penyesalanku. Kenapa dulu aku tidak bercerai saja dengan suamiku? Agar aku tidak terus terjerumus dalam kenistaan. Kenapa dulu aku tidak menurut pada ibu? Karena yang aku sesali dalam hidupku ini adalah bertemu dengan suamiku. Jika dulu tidak bertemu suamiku, mungkin aku tidak akan menderita sampai sekarang. Dan yang aku tidak sesali adalah aku punya anak-anak yang baik, dan aku bertemu suaminya. Hal itu yang tidak aku sesali. Aku tahu semua yang aku lakukan dengan suaminya adalah dosa. Karena dosa itulah aku menjadi berpikir.
Aku simpan dosaku ini rapat-rapat dari suamiku. Biar aku yang menanggung semua. Karena ini adalah ulahku, dan aku harus terima resiko atas perbuatanku sendiri.

إرسال تعليق

Message via WhatsApp

Send instant messages & product details through Whatsapp.

Money Back

If goods have problem we'll return your good.

24/7 Support

Our dedicated support is available to help you.