الثلاثاء، 1 أكتوبر 2013

Ina Risdiani_Cinta Tak Berbalas

Cerpen Cinta Tak Berbalas



Satu tahun yang lalu aku bertemu dengan teman dimasa kecil via twitter. Senang rasanya bertemu dengan sahabat kecilku tapi sayangnya dia sudah besar sepertiku sekarang. Aku tidak pernah berkomunikasi dengannya hampir 12tahun lamanya, tiba-tiba bertemu disaat aku dan dia sudah sama-sama dewasa.
Satu hal yang aku sadari darinya, ia menyebutku dengan sebutan "Rayuan Pulau Kelapa." Aku sedikit mengerutkan dahi, kenapa dia menyebutku dengan sebutan itu! Kemudian ia bercerita padaku bahwa aku dulu selalu bernyanyi. Aku tak menyanyikan lagu anak-anak seusiaku seperti lagu si lumba-lumba atau semut-semut kecil.
Sepertinya aku lebih sering mendendangkan lagu seperti Padamu Negeri, Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke dan Rayuan Pulau Kelapa. Entah kenapa aku senang menyanyikan lagu kebangsaan daripada lagu anak-anak.
Sejak duduk disekolah dasar hingga duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, orangtuaku melarangku untuk tidur diatas jam 9 malam sehingga aku tidak pernah nonton acara TV dimalam hari.
Masih teringat diotakku ketika teman-teman SMP membicarakan salah satu film yaitu Melrose Place. Kalau tidak salah film itu tayang jam 10 malam. Rasa-rasanya aku ketinggalan jaman karena aku tidak tahu sama sekali tentang film itu sedangkan disekolahku film itu sudah menjadi trending topik dikalangan teman-teman sekelas.
Aku terbiasa menonton berita setiap hari, karena orangtuaku menjadi penguasa remot TV jadi apa boleh buat, aku ikut-ikutan nonton berita saja.
Seiring waktu berjalan dengan kebiasaan yang tidak berubah, secara tidak langsung aku semakin tertarik untuk mengetahui berbagai berita terkini. Seperti berita tentang keakraban Perdana Menteri Malaysia dengan Presiden kita kala itu yang mendapat julukan Bapak Pembangunan. Saat itu juga aku melihat berita di TV bahwa ada indikasi kecurangan dalam pemilihan presiden, dimana ketika sudah saatnya Pilpres, para Tenaga Kerja Indonesia yang berada di Malaysia dengan sengaja dipulangkan ke Indonesia untuk mengikuti Pemilu Pilpres dan tentunya harus memilih salah satu kandidat pilpres yaitu Bapak Pembangunan.
Namun karena usiaku yang belum dewasa jadi aku cuek saja dengan pemberitaan tersebut. Bahkan aku sempat membaca majalah langganan orangtuaku yaitu D and R dan Tempo. Karena kepolosanku, membaca majalah tersebut hanya untuk mengasahku memperlancar dalam membaca, hanya itu saja.
Bertahun-tahun terlewati, garis di wajahku sudah mulai terlihat, aku kuliah di jurusan hukum perdata. Pada semester pertama, terbersit dipikiranku untuk menjadi pengacara.
Dengan giat aku kuliah, belajar serius tapi entah mengapa orangtuaku berencana memindahkanku ke Sekolah Tinggi Ekonomi.
Darisanalah asal muasal tumbuhnya kedewasaanku. Aku bersikukuh untuk ambil jurusan Hukum. Aku berjanji akan mendapatkan nilai bagus, dan tidak akan bolos kuliah. Orangtuaku begitu protektif karena aku tidak lulus kuliah Diploma , aku tergila-gila pada bilyard. Aku berangkat dari rumah dengan tujuan kuliah, padahal aku bolos.
Orangtua mana yang tidak kecewa melihat anaknya tidak lulus kuliah. Sebenarnya aku bolos kuliah karena terlalu menyepelekan mata pelajaran. Karena yang menentukan lulus tidaknya kuliah pikirku saat itu adalah ujian.
Ketika mau ujian semester terakhir, aku ditolak masuk ruangan ujian karena aku jarang kuliah sedangkan semua biaya kuliah aku sudah lunasi. Sebenarnya bisa saja aku mengulang tapi orangtua terlanjur kecewa jadi berdiam dirilah aku dirumah merenungi nasib. Aku sempat menjadi pengangguran selama 3bulan sebelum kuliah lagi di Fakultas Hukum.
Aku  lanjutkan kuliahku di fakultas hukum dengan harapan terakhir dari orangtua. Berharap aku bisa lulus dengan nilai yang bagus pula. Karena tekadku sudah bulat dan ditunjang dengan aksi, aku lulus kuliah S1 dengan cum laude, dalam waktu 3tahun setengah aku bisa lulus. Teman-temanku belum lulus, aku dan beberapa teman lainnya sudah duluan lulus. Terbersitlah dipikiranku untuk menjadi jaksa, yang tadinya bercita-cita jadi pengacara.
Cita-cita memang boleh setinggi langit tapi ternyata tidak kesampaian. Aku malah menikah dengan pegawai Kejaksaan. Hidup memang harus terus disyukuri daripada hidup dalam penyesalan. Aku tidak mau menyesali dengan apa yang sudah aku raih. Sebelum menikah aku sudah merasakan pahitnya bekerja demi sesuap nasi selama 5tahun. Dan aku juga sempat meneruskan kuliah di sekolah tinggi ekonomi jurusan Sumber Daya Manusia.
Disela-sela perjalanan berumah tangga, aku berniat ikut menjadi kader partai politik tapi setelah didalami, tak sejalan dengan pemikiran dan prinsip hidupku. Susah sekali untuk menjadi wakil rakyat padahal dari lubuk hati yang paling dalam sudah tertanam rasa menyayangi sesama umat. Bilamana aku menjadi wakil rakyat, aku tidak akan melupakan segala kesusahan dan penderitaan rakyat.
Bangsa ini sudah terbiasa dengan politik uang. Uang yang berkuasa, tanpa uang semua tidak jalan tapi jika ada uang, apapun bisa dilakukan. Segala kesulitan rakyat dijadikan keuntungan demi merauk keuntungan pribadi. Setelah terpilih menjadi wakil rakyat mereka lupa diri, terlena.
Dari ceritaku dimasa silam, tertanam dalam darahku tanpa sengaja untuk mencintai negara ini meski aku belum bisa berbuat apa-apa demi bangsa ini. Aku belum bisa mengharumkan negara ini, belum bisa berbuat sesuatu untuk rakyat. Alhasil aku mengundurkan diri dari partai politik tersebut.
Meski aku sekarang sudah mempunyai anak satu, bernama Affandi, aku hobi sekali berselancar didunia maya. Aku bisa mengetahui semua hal dari om Google biar tetap gaul dan tak ketinggalan jaman. 
Suatu hari aku baca salah satu buku di website pribadi salah satu penulis yang berisi tentang Indonesia dalam perspektif minus. Senang sekali aku membacanya, setidaknya menambah wawasanku. Beginilah kutipan tulisan dari website penulis tersebut “Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat¬sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar¬besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang-larang
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantahan tarang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Baru saja membaca halaman pertama dari buku tersebut, darahku mendidih, tulang-tulangku seperti terbakar. Begitu mirisnya Negara ini, Negara yang ku cintai. Aku tahu minusnya Negara ini, tapi aku tidak tahu bahwa minusnya negara ini dibuat oleh manusia. Selama ini aku berpikir bahwa Indonesia memang kekurangan SDM yang handal tapi kenyataannya adalah banyak pejabat yang merauk keuntungan pribadi, memperkaya diri diatas penderitaan rakyatnya.
Dulu aku yakin dan percaya pada Komisi Pemilihan Umum tapi sejak aku baca buku di website penulis itu, aku langsung terperdaya dan sekelebat kilat aku tak percaya lagi.
Sebenarnya Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam tapi sekelompok orang mengambil jatah rakyat dan masuk ke kantong pribadi mereka. Banyak petani, menanam padi, menanam jagung, kedelai tapi masih saja negara ini butuh impor dari negara lain.
Rakyat dibebani pajak, tetap saja banyak jalan raya yang rusak parah. Terlebih lagi di jalan Balaraja Banten, jalan menuju taman bunga nusantara, jalan di Gedebage Bandung dan masih banyak lagi jalan yang rusak.
Apa yang bisa di andalkan dari negara tercinta ini? Rakyat yang sudah jelas mengharumkan nama bangsa dengan meraih medali emas, hanya dihargai sedikit saja karena jatah mereka sudah dipotong pengurus.
Kalau sudah begitu, masihkah kita bangga pada negara Indonesia? Negara yang selama ini kita berpijak, negara yang selama ini kita junjung tinggi kehormatannya, negara yang selama ini kita idam-idamkan.
Cintaku pada negeri ini seperti bertepuk sebelah tangan. Aku mencintainya tapi dia tidak mencintaiku, dia tidak memberiku ketenangan, dia tidak memberiku kemakmuran, kesejahteraan.
Jika negara ini dikelola dengan baik mungkin aku bisa merasakan belaiannya yang lembut dan merasakan kebahagiaan yang hakiki.
Dilubuk hati yang paling dalam, aku
menanti sebuah jawaban. Jawaban akan kecintaanku pada negeri ini, akankah terbalaskan?

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق

Featured Post

Synopsis Movie Hollywood , THE SCARS

Popular Posts